18 - Blowing

1.7K 141 7
                                    

"Rahasia apa yang dimaksud Ollivander?" Tanya Hermione ketika berjalan menuju kereta untuk kembali ke Hogwarts.

Draco mengedikkan bahu, "Tidak tahu."

Hermione menatap Draco penuh selidik. Sayang, ia bukan cenayang yang bisa membaca pikiran. Jadi terang saja wanita itu tak mendapat jawaban.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?"

Hermione tak menjawab apa-apa. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke jalan.

Kali ini mereka berjalan dalam diam. Lagi dan lagi seperti ini. Kenapa situasi selalu canggung? Yah, kecuali malam kemarin yang sepertinya menjadi kemajuan sesaat bagi hubungan keduanya.

"Hei, Mione?"

"Hm?"

"Kau lapar?"

"Tidak."

"Ayo makan."

"Aku kan bilang kalau tidak lapar."

"Ya tapi aku lapar."

"Ah, kau ini."

"Yasudah terserah kalau kau tidak mau menemaniku. Kau kembali duluan saja. Aku benar-benar lapar."

"Kau yakin? Tiket kereta hari ini sudah habis."

"Apparate, nona. Sepuluh detik."

"Ah sudahlah, kutemani saja. Tiba-tiba aku ingin makan juga."

Hermione tak akan membiarkan Draco berapparate barang sedetikpun. Tak akan pernah. Kalau sampai itu terjadi. Tamatlah riwayatnya.

Bisa-bisa Kementerian Sihir tahu bahwa lelaki itu sedang pergi dari Hogwarts bersama seorang muggle-born bernama Hermione Granger. Kalau sudah begitu, Lucius pasti marah besar dan langsung menemui anak tunggalnya ini dan mengetahui kalau Draco mengalami hilang ingatan.

Astaga,

Tak boleh terjadi. Rusak sudah semuanya kalau begitu.

"Kau tahu restoran muggle yang terkenal?"

"Hah? Apa?" Hermione malah balik bertanya. Memastikan apa yang ia dengar barusan benar-benar nyata.

"Kau tahu restoran muggle yang terkenal enak di daerah sini?"

Ternyata benar.

Nyata.

Draco Malfoy menginginkan makan di restoran muggle.

Kesambet apa sebenarnya Draco ini.

"Oh, aku tahu. Letaknya tak jauh dari King's Cross. Kau mau?"

"Apa menu utamanya?"

"Steak."

"Boleh. Ayo kesana."

***

"Darimana saja kalian? Lama sekali!" McGonnagall berteriak.

"Maaf, Professor. Tadi kami makan dulu sejenak."

"Sudah larut, Granger. Kalian tak bisa membaca waktu atau bagaimana? Ini bukan libur musim panas. Bukan waktunya jalan-jalan sendiri."

"Tapi.." kali ini Draco menyahut, "Kami jalan-jalan berdua. Bukan sendiri."

"Tak ada yang meminta pendapatmu, Malfoy. Ayo cepat kembali ke asrama kalian masing-masing!"

Draco dan Hermione menurut. Berjalan dengan hati kesal menjauhi professor Transfigurasi tersebut.

"Dasar wanita tua! Dia pikir aku tak bisa kelaparan? Seenaknya saja." Rutuk Draco.

"Andai kau tak menyuruhku mengikutimu, tak mungkin aku dimarahi Professor McGonnagall."

"Kau menyalahkanku?"

"Memang ini salahmu, Malfoy!"

"Aku kan sudah bilang kau boleh kembali duluan tadi! Kau saja yang mau ikut makan denganku."

Hermione tak membalas. Ia mempercepat jalannya meninggalkan Draco di belakang dengan wajah bersungut-sungut.

Sesampainya di kamar, wanita rambut semak itu langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Tak peduli ganti baju, membasuh muka, atau lainnya.

Matanya dengan cepat terlelap. Setelah perjalanan satu hari penuh, terlalu lelah, mungkin.

Di lain sisi, Draco yang baru saja selesai mandi dikejutkan dengan kedatangan Goyle yang membawa setumpuk pai apel di tangannya.

"Dari mana saja kau, Draco?"

"Toko Ollivander."

"Sampai larut malam begini?"

Draco mengangguk.

"Tadi Professor Snape mencarimu."

"Ada apa?"

"Mana kutahu?"

"Kenapa kau tidak tanya, bodoh!"

"Professor Snape langsung pergi setelah tahu kau tak ada. Aku tidak punya waktu untuk bertanya."

Diam.

Entah memikirkan apa.

Severus Snape, mencarinya.

Hal baikkah? Atau buruk?

Pilihan kedua mungkin lebih tepat.

Mungkin.

Ia langsung berbaring di ranjangnya dan berusaha tidur. Namun otaknya belum mau beristirahat disaat tubuhnya benar-benar lelah. Pikirannya terbang kemana-mana. McGonnagall, Snape, Ollivander, Steak, .. Hermione.

Ia menarik selimut putih nan hangat sampai ke dagu. Menutup matanya dan berusaha mengosongkan pikiran agar cepat terlelap.

Namun, indera pendengarannya terganggu. Suara kecapan Goyle yang memakan pai-nya terlalu memekakkan telinga.

Astaga.

(Bukan) Hanya MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang