6 - Merindukan Krum

1.9K 224 6
                                    

Hari berganti. Murid Gryffindor sudah berada di Kelas Astronomi bersama para Ravenclaw. Murid-murid berkicau tanpa henti sejak diperdengarkannya pengumuman dari Dumbledore yang mengisyaratkan bahwa murid tahun ke enam diharuskan pergi. Bukan kicauan sedih yang mereka lontarkan, justru mereka sangat senang mendengar itu. Mereka akan pergi. Untuk laki-laki, akan pergi ke Durmstrang. Dan untuk perempuan, akan pergi ke Beauxbatons. Siapa yang tak senang? Mereka akan mengunjungi teman yang mereka dapatkan dari tergelarnya Turnamen Triwizard dua tahun lalu. Coba katakan, siapa yang tak senang? Jika kau mengatakan Hermione, kau benar.

Hermione murung. Ada tiga alasan kenapa semenjak tadi wajahnya tertekuk ke bawah. Satu, ia terus-menerus teringat pada kata-kata Dumbledore dan menyadari bahwa pelindung Hogwarts akan hilang dari muka bumi di tangan Professor yang paling di bencinya, dan parahnya lagi, ia tak bisa berbuat apa-apa. Dua, jeritan kesakitan dari orang tua Hermione tak bisa hilang dari memorinya, yang membuat rasa bersalah terus menerus muncul di benaknya. Tiga, tentu saja karena Viktor Krum. Anak perempuan ke Beauxbatons, dan Krum? Dia di Durmstrang!! Sudah jelas bahwa tak ada wanita yang boleh masuk ke sekolah sihir itu, tapi ia sangat merindukan Krum. Sangat sangat sangat merindukan Krum. Apalagi mengingat bahwa ini adalah tahun terakhir Krum bersekolah. Masihkah ia bertemu dengan pasangan Yule Ball nya itu? Kalau ia bekerja di dunia sihir memang mungkin. Tapi bagaimana kalau ia harus bekerja sebagai Muggle?.

Sepanjang pelajaran berlangsung, Hermione murung. Sering tak berkonsentrasi. Bahkan ia pun tak pernah mengangkat tangannya untuk menjawab pertanyaan sang Professor. Terpaksa, Gryffindor tak punya tambahan angka.

"Hei.." bisik Ron sambil menyikut Hermione.

Hermione mengangkat alis, "Kenapa?"

"Jawablah pertanyaan tadi. Kau tak tahu jawabannya?"

"Eum.. pertanyaan apa?"

"Huh.." Ron memutar bola matanya.

Tak disangka, Brown mengangkat tangannya. Membuat semua terdiam. Terdiam karena kaget, tentu saja. Bisa di tebak isi kepala semua murid. Pasti tak jauh-jauh dari, "Brown itu tak terlalu pintar. Tak pernah mengacungkan jari untuk menjawab pertanyaan. Tapi lihat sekarang.. Granger yang pintar tak bisa menjawab, malah justru Brown sudah mengacungkan jari."

"Ya, Ms. Brown?"

"Em.. saya ijin ke belakang, Professor."

Tawa meledak di seluruh penjuru kelas. Mengiringi langkah kaki Brown ke toilet. Sebenarnya, mereka menertawakan diri mereka sendiri. Tertawa karena menganggap ijin ke toilet sebagai ijin menjawab pertanyaan. Kelas yang awalnya dihiasi tatapan heran sudah berubah menjadi lautan suara tawa. Hanya dua orang di kelas itu yang tak tertawa. Ya, hanya dua orang.

Orang pertama, Hermione, tentu saja. Ia tak memerhatikan apa yang sedang terjadi. Pikirannya sudah melayang berkilo-kilo meter jauhnya. Terkadang bayangan Dumbledore mampir ke otaknya. Tak jarang juga bayangan kedua orang tuanya yang bersimbah darah. Dan juga bayangan dirinya yang berdansa bersama Viktor Krum.

Orang kedua, Ronald Weasley. Entah mengapa, Ron tak bisa tertawa diatas rasa malu Brown. Ia memandang punggung Brown yang menjauh dari kelas tempatnya berada. Matanya sayu, menandakan rasa kasihan yang teramat sangat. Mulutnya mendecak sebal. Seakan-akan ia tahu bagaimana rasa malu menyelimuti Brown saat itu.

---

Lama? Maaf.. ada yang nunggu nggak sih sebenernya?

Author lagi lost contact nih sama ide cerita ini. Jadi, pendeknya pake banget deh. Maaf ya maaf..

(Bukan) Hanya MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang