12 - Kembali

1.9K 195 5
                                    

Setelah sekian lama, akhirnya hari ini terjadi juga. Saatnya kembali ke Hogwarts.

Ya, acara sudah selesai. Beauxbatons yang indah, dan Durmstrang yang dingin akan hilang dari pandangan murid-murid. Beberapa menyambut hari ini dengan duka, dan beberapa lagi menyambut dengan suka. Itu semua tak penting. Yang terpenting kini adalah.. memikirkan alasan yang akan dibuat Draco untuk mengulur perbaikan Lemari Penghilang.

Sekitar tiga hari lalu, tak disangka-sangka, Pius datang ke Durmstrang. Ia mengatakan bahwa Dark-Lord sudah marah besar karena selama di Durmstrang, Draco tak melakukan apapun kepada Lemari Penghilang. Memang, dengan mudah Draco beralasan kalau tak mungkin membawa lemari itu ke Durmstrang. Alasan yang masuk akal. Dan memang itu satu-satunya yang masuk akal. Tapi ternyata Pius malah mengancamnya. Jika sesampainya di Hogwarts Draco tak menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, Dark-Lord tak segan membunuhnya di depan keluarga dan teman-temannya. Sungguh, ia tak mau mati muda. Apalagi di depan temannya. Astaga.. itu terlalu memalukan. Tak pernah terbesit bahwa ia akan mati dengan cara tak terhormat. Jadi, sebisa mungkin hal itu akan ia hindari.

***

Hogwarts, 11.00 PM

Lima jam lalu, Hogwarts Express I dan II sampai di Hogwarts berbarengan. Setelah para murid turun dari kereta, mereka langsung pergi ke kamar masing-masing dengan wajah lesu menempel di badan mereka. Bahkan, koper-koper yang telah dipindahkan Hagrid ke Aula Besar pun masih teronggok disana. Selelah itukah sampai mengambil koper saja tak sempat? Iya. Jawabannya iya.

Draco mengusap rambutnya kasar, dan berjalan menuju Aula Besar. Memang ia lelah, tapi apa gunanya lelah jika tak bisa tidur atau sekedar memejamkan mata? Kelopak matanya sedang tak bersahabat. Dan ia juga tak mau esok hari harus berdempet-dempet dengan yang lain untuk mencari kopernya di gundukan koper-koper lain.

Jarak Draco dengan pintu ke Aula Besar kini hanya dua meter. Dan dua meter dari pintu tersebut di arah yang berlawanan dari Draco, telah berdiri Hermione yang juga tak bisa tidur. Mereka saling memicingkan mata, dan berusaha mengacuhkan satu sama lain. Tak lama kemudian, Hermione mulai melangkahkan kakinya masuk ke Aula Besar.

Draco mendengus sebal. Merutuki diri sendiri. Ia sedang malas bersuara, berdebat, beradu pendapat, berkelahi, atau apalah itu namanya. Terlalu menguras tenaga untuk hal sepele semacam itu. Tapi kenapa malah bertemu Hermione? Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.

"Kalau kau menemukan koperku, tolong beritahu aku."

Draco diam. Mencoba mencerna lebih dalam apa yang baru saja ia dengar. Namun sia-sia. Ia tak mendengar kalimat itu lagi, yang membuatnya tak bisa memastikan apakah ia salah dengar.

"Seorang Mudblood bernama Granger meminta tolong padaku. Sounds.... weird," tanya Draco pada dirinya sendiri.

"Kenapa kau diam saja?" Tanya Hermione.

Empat kata itu sukses menempelkan seringaian di wajah orang yang sedang krisis ekspresi. Berkedip saja malas, apalagi menyeringai seperti itu. Bagaimana ia bisa menyeringai disaat seperti ini, Draco sendiri pun tak tahu. Sebagai balasan atas permintaan Hermione, Draco mengangguk kecil. Terlalu kecil hingga hanya ia yang merasakannya. Tapi biarlah, toh Hermione juga membelakanginya. Tak mungkin ia melihat Draco mengangguk atau menggeleng.

Dorongan untuk menuntaskan tugas membuat Hermione bercerita panjang lebar pengalamannya di Beauxbatons kepada Draco sembari terus mencari koper. Tapi lupakan Quinable, tak akan ia ceritakan kepada siapapun masalah itu. Sedangkan Draco hanya diam. Hermione tak tahu apakah Draco mendengarkan atau tidak. Ia tak peduli itu. Yang harus ia lakukan hanyalah berusaha menipiskan jarak antara dirinya dengan sang rival. Membuat Draco sejenak melupakan dan mengulur pelaksanaan tugas keji dari Voldemort sampai akhir tahun ajaran. Sesungguhnya Hermione masih tak percaya bahwa ia dilibatkan secara gamblang oleh Dumbledore dalam sebuah misi. Bagaimanapun juga, Harry adalah musuh Voldemort yang sesungguhnya. Dan kini justru Harry yang tak tahu apa-apa.

Di sisi lain, Draco merasa sebal karena kopernya tak kunjung ketemu. Tapi sejujurnya, ia mendengarkan cerita Hermione. Dari awal hingga sekarang -yang ceritanya belum selesai-. Namun ia diam saja. Tak merespon satu katapun. Ia lelah. Malas menggerakan otot-otot termasuk otot wajah. Cukup tangan dan kakinya saja yang terus mencari koper.

Draco tak tahu apa tujuan Hermione bercerita dan mengoceh tak henti seperti itu. Yang ia tahu, mereka adalah musuh sejak pertama kali bertemu. Tak pernah berbicara, kecuali sedang bertengkar. Dan.. kini berubah.

"Apa dia mendekatiku untuk mencegahku membunuh Dumbledore? Tak mungkin. Ia pasti tak tahu rencana ini. Itu spekulasi yang terlalu tinggi. Lalu? Kenapa ia berubah hangat? Apa udara di Prancis mampu menghilangkan ingatan orang akan musuhnya? Ah kurasa tidak. Tadi di depan, ia masih bersikap angkuh padaku. Kenapa anak ini? Dasar aneh! Idiot!"

"Malfoy! Ini kopermu!" Teriak Hermione.

Draco menutup kedua telinganya menggunakan telapak tangan. Disaat semua mendengkur akibat kelelahan, justru manusia satu itu berteriak kegirangan. Aneh. Setelah gempa berkekuatan 9,8 SR yang mengguncang tubuh Draco akibat teriakan Hermione berhenti, Draco berjalan kearah Hermione dan mengambil koper yang tergeletak di samping kaki kanan musuhnya itu. Ia membungkuk sedikit untuk meraih kopernya, kemudian melengang pergi keluar Aula Besar.

Hermione berdecak sebal, "Kau tak mau membantuku? Aku sudah menemukan kopermu, tahu!"

Draco tetap berjalan menenteng kopernya. Hermione berkacak pinggang. Jika ini komik, mungkin wajah Hermione sudah sepenuhnya berwarna merah darah dan asap mengebul dari dua telinganya, sembari membentuk jari-jari tangannya menjadi kepalan tinju yang kemudian diletakan beberapa centi dari telinga. Sebelum melewati zona merah (baca: pintu) Aula Besar, Draco berhenti. Tangannya menunjuk salah satu koper yang sudah terpisah dari koper yang lain, kemudian kembali berjalan pergi. Hermione menatap koper itu dan memeriksanya.

"Malfoy!! Kenapa kau tak memberitahu dari tadi kalau sudah menemukan koperku!!!" Teriaknya yang masih bisa di dengar Draco dari arah sepuluh meter.

"Masih untung kuberi tahu!!" Teriak Draco frustasi.

Sesampainya di tempat tidur, Draco langsung membaringkan tubuhnya. Kedua tangannya dipakai menjadi bantal, meskipun bantal asli sudah tersedia. Ia menguap sejenak, lalu memiringkan badannya. Ia teringat tongkatnya. Tongkatnya hilang. Terjatuh saat berpetualang mencari tanaman merambat di hutan Durmstrang. Mungkin esok atau dua hari lagi seekor burung hantu menyelinap ke kamarnya. Membawa sekotak tongkat dari toko Ollivander yang ia pesan kemarin.

Kehilangan tongkat itu buruk, tapi keadaannya menjadi sangat buruk ketika tadi saat turun dari kereta, ia mendapat surat dari orang berinisial PT yang dititipkan ke Hagrid. Isinya singkat. Hanya satu kata. Cepat. Tapi berhasil membuat Draco pusing tujuh keliling. Siapa lagi kalau bukan Pius yang disuruh oleh Voldemort.

Bingung juga sebenarnya, kenapa harus Pius, Pius, dan Pius. Draco muak melihat wajahnya, ataupun mendengar satu kata dari namanya. Memang semua orang kepercayaan Voldemort sudah masuk blacklist kementrian sihir, dan hanya Pius yang masih bebas dari daftar hitam. Tapi tak bisakah orang lain? Pius orang terkenal. Kemanapun ia pergi, akan mengundang massa untuk ingin tahu. Apa para Death Eaters tak memikirkan hal itu? Apa para Death Eaters menjadi bodoh? Idiot? Tak punya otak sehingga Pius, Pius, dan Pius terus? Sepertinya tiga kategori itu termasuk.

Tapi meski tiga kategori itu termasuk, juga tak menutup kemungkinan bahwa Voldemort punya rencana lain di balik pengiriman orang itu. Voldemort mungkin punya rencana besar lain. Tapi biarlah. Siapa perduli?

(Bukan) Hanya MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang