"Dika, udahan belajarnya." tegur Elina.
Minggu depan ujian kelulusan sudah di laksanakan dan 4 hari juga Dika selalu tidur larut malam bahkan sampai tertidur di meja belajar karena menyiapkan ujian agar mendapat nilai yang tinggi. Dika benar-benar memforsir seluruh jiwa dan raganya untuk belajar.
Lelaki berhidung mancung itu menoleh. "Bentar lagi.."
Elina menghela napas lelah, terselip kekhawatiran disana. Sekarang jam 3 pagi tetapi Dika masih betah berkutat dengan bukunya.
"Gue tau lo pengen hasil yang terbaik, tapi gak gini caranya. Pliss kali ini aja nurut sama gue. Kondisi lo bisa drop kalo gini terus. Gue gak mau lo sakit, Dika." jelas Elina.
"Masih ada 3 buku lagi, Elina. Lo tidur lagi aja ya? Gue baik-baik aja." ucap Dika.
Elina menggeleng. "Tidur."
"Tapi gue belum selesai, Lin."
"Tidur sekarang atau gue pergi ke rumah mamah."
Dika berdecak sambil menutup bukunya.
"Elina, tolong ngertiin gue. Lo tau kalo selama ini gue suka bikin onar, banyak nilai merah dan gak ada yang bisa dibanggain dari gue. Gue gak mau lo malu punya suami berandalan kayak gue. Gue juga mau banggain mamah papah biar gak di cap anak gak guna."
Perkataan Dika barusan membuat Elina terkejut sekaligus marah.
"Lo ngomong apa sih?! Siapa yang malu punya suami kayak lo? Di mata gue lo udah ngelakuin yang terbaik. Lo selalu jadi yang terbaik buat gue, Dika. Bahkan sampe di tahap ini, gak semua orang sekuat lo. Apapun yang lo lakuin mamah papah termasuk gue bangga sama lo."
Dika membuang tatapan ke arah lain. "LO GAK NGERTI, ELINA!!!"
Elina mematung di tempat dia berdiri, untuk pertama kalinya Dika membentaknya. Elina akui memang bahwa mereka terkadang terlibat cekcok tapi tidak sampai seperti ini. Dan ini adalah pertama kalinya Dika mengeluarkan nada tinggi padanya.
Sadar telah membentak istrinya, Dika segera meraih tangan Elina namun gadis itu menepisnya.
"Elina maafin gueㅡ"
"Gue pergi ke rumah mamah, kita gak usah ketemu selain di sekolah sampe pengumuman nilai ujian keluar." ucap gadis itu segera mengambil cardigan dan kunci mobilnya lalu keluar kamar membuat Dika berdiri dan menyusul.
"Nggak, Lin. Maaf tadi gue kelepasan bentak lo." ucap Dika menahan Elina di depan pintu.
"Lo gak berhak ngelarang gue." balas Elina.
"Gue suami lo jadi gue berhak ngelarang lo." sahut Dika.
"Dan gue istri lo, apa ada lo dengerin gue? Gak kan?" ketus Elina berlalu dari sana.
Dika menghela frustasi lalu mengikuti Elina bahkan sampai istrinya itu masuk ke dalam mobil. Lelaki itu terus mengetuk kaca mobil agar Elina mau merespon ucapan nya, tapi hasilnya nihil. Elina sama sekali tidak membuka suara dan menyalakan mesin mobil.
"Gue beneran kelepasan, Lin. Gue minta maaf, gue gak maksudㅡ" ucapan Dika terhenti karena Elina sudah melajukan mobilnya pergi dari pekarangan rumah.
Tak pernah Dika bayangkan bahwa di jam 3 pagi ini, Elina benar-benar meninggalkan nya. Dika memijit kepalanya yang pening. Sudah lelah belajar, sekarang malah cekcok hingga membuat istrinya pergi ke rumah orang tua Dika. Harusnya dia menuruti Elina, maka hal ini tidak akan terjadi.
Dika berteriak marah, marah dengan dirinya sendiri.
Akhir-akhir ini Dika memang banyak sekali beban pikiran. Dika kerap mendengar istrinya itu di bicarakan oleh satu sekolah karena punya 'pacar' berandalan. Dika jelas marah, tapi Elina selalu berkata agar tidak merespon mereka, membuat lelaki itu merasa bersalah. Dika jadi ikut berpikir, apa Elina tidak malu mempunyai suami seperti dirinya? Wajah boleh tampan, tapi jika bodoh dan biang onar? Apa yang bisa di banggakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad boy to be Husband✓
Teen Fiction❗FOLLOW SEBELUM MEMBACA❗ Apa jadinya jika seorang berandalan sekolah yang tidak pernah mau mengikuti aturan, sukanya berantem sana-sini itu di jodohkan dengan seorang gadis atlet taekwondo kebanggaan sekolah? "Gue gak mau nikah sama lo!" "Lo pikir g...