AKHIRNYA, BISA MEMBAKAR BUKU LAGI; DENNY JA

61 4 0
                                    

Jalan Jogja sangatlah panas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jalan Jogja sangatlah panas. Membuat seluruh tubuh berair. Jika tidak ada pepohonan yang menaungi hunian sekitar. Dunia bagaikan neraka.

Mungkin, gambaran neraka itu nyaris mirip dengan buku yang tengah aku bakar. Begitu indah namun panas. Berkobar dengan meliuk-liuk ke atas. Putih asap mengepul menuju langit-langit. Mengasapi diriku. Membuat tubuhku berbau khas; bau asap saat terik matahari membuat aku terpaksa harus melepas bajuku hanya agar bisa sedikit menikmati diri.

Sudah lama aku tak membakar buku. Sangat lama. Selama ini yang aku lakukan hanya sekedar merobeki buku-buku sastra seperti biasa; untuk tisu harian. Buku milik Denny JA, Atas Nama Cinta, entah sudah berapa bulan aku jadikan tisu harian. Beberapa halamannya sudah habis. Bekas dari robekan buku terlihat sangatlah jelas. Dan, sebelum isu mengenai pencalonan perihal Nobel Sastra, yang membuat Saut Situmorang dan kawan-kawannya menjadi berang. Aku lebih dulu membuat buku yang didaulat sebagai penggagas baru gaya perpuisiaan di Indonesia itu, sebagai hal yang biasa saja.

Menjadikan sekedar barang. Sebagai tisu. Lalu saat ini, aku tengah membakarnya. Tanpa perlu terlibat dalam huru-hara kesusastraan. Hanya sekedar membakarnya. Beres. Mudah. Sederhana.

Sampai saat ini, banyak kritikus dan mereka yang terlibat dalam gerbang penjaga kesusatraan Indonesia. Tak pernah terpikir untuk membakar buku-buku yang mereka anggap buruk atau melenceng dari nilai yang mereka akui. Sejak dulu, yang bisa mereka lakukan hanya mencaci maki dan saling serang dalam tulisan yang begitu kasar. Mereka berbicara dengan kasar dan dengan ungkapan yang juga begitu kasar. Semua itu katanya demi menjaga Sastra Indonesia yang sebenarnya sudah sekarat itu.

Yang aku lihat malah, para pengkritik itu lah yang kenyataan hidupnya nampak sekarat. Mengalami beban mental yang tak sedikit. Dan berkumpul layaknya orang-orang kalah yang bingung harus melakukan apalagi.

Mereka mengkritik Denny JA, yang secara tak terduga memberikan gambaran jelas mengenai para sastrawan Indonesia yang begitu miskin dan serba kekurangan itu. Sastra yang bisa dibeli. Sastrawan yang bisa dibeli. Kritikus yang bisa dibeli. Dan para oposisi yang juga saling melindungi di antara kawanan mereka sendiri.

Ah, kenapa harus repot-repot mencaci maki buku-buku kalau kita bisa dengan mudah membakarnya? Mengapa harus menulis panjang lebar soal kritik sastra jika kita bisa membakarnya tanpa perlu harus bersusah payah membaca isinya?

Lagian, dalam sastra kesukuan. Melihat kejeniusan orang lain itu sangatlah susah. Mengakui diri sendiri itu sangatlah sulit. Dan tentunya, melihat kebaikan orang lain yang pernah melakukan keburukan itu jauh lebih sulit.

Sastra Indonesia tak perlu dibela. Lagian keberadaannya sudah tak lagi penting. Bukan hal yang suci. Jika ia mati. Biarlah mati dan membusuk. Apalagi, abad kata-kata hampir berakhir dengan masa keemasan segala yang digital dan visual. Kelak, saat tulisan tersingkir nyaris sempurna. Sastra Indonesia, akan jadi sekedar kenangan yang tak perlu banyak diingat. Kecuali hanya beberapa.

Sampai saat ini, aku belum melihat buku-buku sastra milik Denny JA dibakar beramai-ramai. Sangat aneh memang. Para sastrawan pun masih ingin terlibat menjaga sikapnya dan tak ingin melangkah jauh seperti diriku.

Apakah buku-buku Denny JA begitu suci, sehingga tak layak untuk dibakar bersama-sama?

Ada ketakutan di antara sastrawan dan pegiat sastra. Jika mereka membakar buku-buku milik Denny JA. Mereka seolah sepakat menodai kebudayaan. Tak ingin terlibat dalam tindakan yang seolah kejam dan merusak. Yang pernah menjadi ciri kaum fasis Eropa.

Masalahnya, buku-buku itu sendiri, menyimpan kebudayaan yang sudah busuk dan penuh kekerasan. Seperti halnya, etika para pengkritik yang bisa disebut sebagai berbudaya, bukan? Sebuah budaya yang menghina orang dengan suka-suka. Asalkan di dalam sastra, itu semua dibolehkan.

Tapi kenapa, membeli semua yang ada di sastra tidak dibolehkan? Jika Denny JA bisa mempercundangi banyaknya sastrawan Indonesia dengan uang, kekuasaan, kepopuleran dan ketokohannya. Kenapa, banyak sastrawan tak bisa menghindarinya? Atau setidaknya, bermain nyaris setara dengan Denny JA?

Karena, mayoritas sastrawan Indonesia begitu senang dengan kemiskinan mereka sendiri. Kemiskinan yang berujung pada kelemahan. Lalu frustasi. Dan akhirnya berkumpul bersama, menjadi bagian dari orang-orang kalah yang menyedihkan.

Selama ini, seolah, sastra adalah pelarian dari orang-orang yang kalah dari dunia sosial, ekonomi, politik, dan bernegara. Tempatnya orang-orang yang lemah saling menguatkan. Lalu bersama-sama, membangun benteng delusi akan kehebatan yang sudah usang di abad yang lalu.

Itulah sebabnya, orang semacam Denny JA bisa masuk dengan mudah. Siapa pun yang mirip dengan Denny, bisa melakukan nyaris apa pun di dalam sastra Indonesia hari ini.

Karena, mayoritas umat manusia juga tak peduli. Kebanyakan orang Indonesia juga tak peduli.

Lagian, di hari semacam ini, sesuatu yang bernama sastra sudah tak lagi menarik. Terjerumus dalam sastra sampai usia tua adalah hal yang sangat mengerikan. Karena, entah kenapa, banyak sastrawan malah menjadi gila, sombong, dan sakit. Bukannya sastra membuat seseorang sembuh dari kegilaan dan mendapatkan kebahagiaan. Sastra membuat banyak orang menjadi sakit.

Karena kita tahu bahwa sastra itu adalah penyakit. Maka, aku membakarnya. Seperti saat ini. Melihat buku yang terbakar begitu sangatlah menyenangkan. Melihat api yang menyala-nyala, benar-benar memesona.

Di abad ini, saat tulisan sekarat. Lebih baik kita mendorongnya lebih jauh. Agar setiap tulisan menjadi nyaris tak penting. Dan kelak, kita bisa hidup tanpa perlu harus membaca buku sama sekali. Saat kenyataan mengajari kita, bahwa tulisan panjang yang sangat bagus dan penuh dengan keseriusan, hanyalah keberadaan yang tak berarti sama sekali.

Dan, setelah sekian lama. Aku bisa membakar buku kembali.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang