MARTIN, EKA, DAN SASTRA ENTAH

108 6 0
                                    

Jalanan terasa menenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jalanan terasa menenangkan. Bercaknya ditangkap oleh kaca dan lampu-lampu. Berbagai orang dan kendaraan berlalu-lalang, bagaikan menyusun waktu di tengah wabah yang dipandang tak ada.

Indonesia terasa bagaikan kebodohoan yang disepakati bersama. Kerumunan yang aku lihat, adalah bagian dari ulangan kebodohan yang diputar tanpa henti. Dan aku, adalah bagian dari kebodohan itu.

Tentunya, juga sastra. Sastra adalah bagian dari kebodohan yang dilembagakan menjadi kebodohan. Kebodohan nyaris abadi yang tak bisa diselesaikan oleh siapa pun. Bahkan oleh Martin Suryajaya sekalipun.

Buku yang aku baca ini, hanyalah sebuah angin lalu dalam napas sekarat sastra Indonesia. Tak berarti. Tak penting. Dan pastinya, tak akan banyak yang peduli. Berapa banyak sastrawan hari ini, yang cukup sadar diri dengan kritik sastra dan kenyataan sastra di depan mata mereka?

Kritik sastra untuk sastrawan bebal, adalah pengabaian dan penghindaran. Sekedar dibicarakan sebentar. Lalu melupa diri. Seperti halnya kasus yang aku anggap sebagai kematian sastra modern Indonesia, yaitu kasus polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Setelah kontroversi yang membuka kenyataan dalam diri sastra dan para sastrawan itu. Para sastrawan tak lebih dari pada manusia biasa. Pada umumnya. Kerumunan dari orang awan. Sastra yang dianggap lebih tinggi, dan sastrawan yang dianggap lebih mampu memahami manusia dan sekitarnya. Telah menguap dan sekedar menjadi bagian dari rakyat pada umumnya.

Setelah kasus itu, aku sudah tak banyak lagi tertarik dengan sastra. Kenyataan yang akan membuat pola yang berulang. Diributkan. Disangkal. Dilupakan. Dan dijalani lagi. Seperti orang bodoh yang tak pernah hidup dan tahu apa itu sejarah diri sendiri.

Lalu untuk apa Martin membuat buku, yang jadi salinan dari buku terdahulunya? Buku yang bernama Kiat Sukses Hancur Lebur. Sebuah buku yang pernah dibicarakan. Diperdebatkan. Dimahkotai hadiah. Lalu, hilang. Tak ada suara. Atau lebih tepatnya, dianggap tak ada.

Menyangkut kritik sastra. Kesusastraan Indonesia akan nyaris selalu berada dalam ruang pelupaan diri. Generasi baru yang lugu bermunculan lagi. Kebodohan baru terulangi lagi. Beserta para politikus, karyawan dan pengusaha sastra ikut serta dalam rombongan pembodohan yang dilembagakan oleh penerbit, toko buku, sastrawan, masyarakat, pemerintah, dan para intelektualnya.

Kenapa Martin Suryajaya masih mau terlibat dalam sastra yang benar-benar hampir mati ini? Yang nyaris susah menghadirkan kebaruan dalam gaya ungkap, tema, isu, dan benar-benar hampir mati secara mengenaskan saat komik yang menjadi gabungan antara novel, seni, dan film, menjadi jauh lebih banyak dibaca oleh generasi yang hari ini, enggan mau banyak berpikir. Juga, benar-benar kian tersudut, saat berbagai jenis game, kian membuat tulisan tak lagi menempati posisi utama.

Mungkin, sebagai pelampiasan atas riwayat sastra yang begitu menjengkelkan di depan matanya. Sebuah buku, yang sejatinya juga ia tahu, tak akan banyak berarti bagi orang-orang yang sangat sering mengabaikan kenyataan sastra. Atau, sebagai bentuk iseng dan hal-hal lainnya. Seperti telah dijelaskan oleh beberapa tulisan mengenai buku Terdepan Terluar Tertinggal.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang