MEROBEK-ROBEK CANTIK ITU LUKA DI ACARA KESUSASTRAAN

201 10 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan di sampingku tersentak saat aku merobek satu halaman Cantik Itu Luka untuk mengeringkan jari-jemariku yang berminyak dan basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perempuan di sampingku tersentak saat aku merobek satu halaman Cantik Itu Luka untuk mengeringkan jari-jemariku yang berminyak dan basah. Suara kertas yang dirobek sangatlah khas. Sehingga beberapa orang tampak memperhatikan.

Aku membawa Cantik Itu Luka dalam kondisi baru dan tersegel. Aku hanya perlu membuka segelnya. Merobek satu halamannya. Menjadikan karya sastra yang banyak disukai dan mendapatkan beberapa penghargaan ini, sebagai tisu yang benar-benar sangat membantu.

Ada banyak orang di sekitarku. Suara milik Okky Madasari terdengar santai, renyah, dan terkesan percaya diri. Aku kembali memakan makanan yang ada di depan kakiku dan tak lama kemudian merobek satu halaman dari Cantik Itu Luka kembali. Sekali lagi, untuk mengeringkan dan membersihkan jari-jemariku.

Banyak orang di sekelilingku adalah para pecinta sastra. Pembicara yang ada di depan sana adalah sastrawati peraih penghargaan. Di sebelah utara, terdapat ketua penulis Indonesia. Tentunya, ada beberapa penulis dan sastrawan juga di sini. Di tengah-tengah para pecinta dan pelaku sastra ini, aku merobek-robek salah satu karya sastra yang dianggap penting di masa setelah reformasi. Di depan publik. Suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya di abad modern ini.

Aku melakukannya. Seorang diri. Beberapa pasang mata menyaksikan apa yang tengah aku lakukan. Saat Okky Madasari membicarakan sastra perlawan dan isi bukunya yang masih bertemakan humanisme. Aku merobek-robek karya sastra dengan santainya sambil menikmati penjelasan Okky yang bagus.

Saat banyak dari kalangan sastra masih percaya akan sastra dan buku itu sendiri. Aku sendiri, menemukan bahwa dunia tulisan telah runtuh. Sastra adalah perwakilan paling mencolok dari keruntuhan berbagai nilai yang dipercayai manusia itu sendiri. Bisa dibilang, sastra adalah utopia yang gagal dan berakhir menyedihkan di abad kedua puluh satu ini.

Itulah sebabnya, aku membakari karya sastra untuk memperjelas kondisi keruntuhan itu. Juga merobeknya, menjadikannya tisu, dan lain sebagainya.

Hanya saja, seperti yang ada di depan mataku sekarang ini, perempuan seperti Okky Madasari, masih terjebak dengan humanisme yang ada dalam tulisan. Dan jumlah sastrawan seperti dirinya sangatlah banyak. Mereka terdiri dari kelas menengah, mapan, berpendidikan tinggi, dan seringkali terkesan kosmopolitan dan terbuka. Mereka telah lupa atau malah menyingkirkan fakta hidup keseharian mereka sendiri. Juga seluruh manusia yang ada di dunia ini.

Sastra sebagai benteng pertahanan umat manusia dari kepunahan. Juga, dari banyak hal yang menuju ke arah itu. Harus diarahkan agar tidak menusuk diri sendiri. Itulah yang aku sebut karya sastra pada akhirnya.

Terlebih apa yang dikenal sebagai Sastra Indonesia.

Lalu, wajah sastra dan yang bukan sastra pun jatuh dalam keterpecahan yang tak akan bisa dijembatani dalam jangka waktu yang abadi. Hanya ada ulangan kasus dan masalah yang intinya sama dan tak akan pernah terselesaikan.

Saat pikiranku bercabang sambil mendengarkan suara Okky Madasari yang pandai menjelaskan dan berbicara. Aku merobek beberapa halaman Cantik Itu Luka, menjadikannya sobekan kecil-kecil. Lalu menebarkan sobekan-sobekan itu di sekeliling novel milik Eka Kurniawan. Setelah itu, memasukkan sobekan-sobekan halaman novel ke dalam buku dan ujung-ujung dari sobekan-sobekan kertas muncul di setiap pinggir, yang terasa seperti karya seni.

Semua itu aku lakukan di depan publik sastra, layaknya seniman yang tengah melakukan performance art atau membuat seni instalasi langsung dan menohok.

Apakah publik sastra akan sadar akan keruntuhan tulisan dan sastra yang mereka percayai? Tidak. Mereka jelas menolaknya. Seolah-olah mereka bukan manusia dan tak mau mengakui kegagalan proyek besar idealisme manusia.

Padahal publik sastra telah seringkali membicarakan kegagalan proyek modernisme dan narasi besar. Lalu sekarang, saat kegagalan dan keruntuhan besar itu semakin mencolok dan benar-benar ada di depan mata. Para sastrawan masih berpura-pura tidak tahu dan dengan asyiknya membicarakan delusi-delusi di antara mereka sendiri.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang