HALAMAN TERAKHIR "DAWUK"

128 9 0
                                    

Aku menyobek satu halaman terakhir Dawuk, untuk membersihkan meja yang ada di depanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menyobek satu halaman terakhir Dawuk, untuk membersihkan meja yang ada di depanku. Sekarang ini, aku berada di Tempo del Gelato. Setelah beberapa waktu tadi mencari beberapa buku sastra yang nantinya akan aku bakar, robek, injak, atau aku lempar ke sungai atau laut.

Aku menikmati ice cream yang ada di mulutku. Sambil mendengarkan suara-suara orang bercerita mengenai dunia mereka masing-masing.

Malam ini, aku juga membawa buku milik Iksaka Banu, Semua Untuk Hindia, yang nantinya akan berfungsi sebagai tisu pengganti novel Dawuk yang sudah habis halamannya.

Aku sudah mendapatkan empat buku sastra hari ini. Dan tengah menyiapkan satu sampai lima juta untuk membeli buku-buku sastra yang akan aku bakar.

Proyek Membakar Sastra Indonesia akan menjadi titik awal gagasanku akan dunia yang telah kehilangan tulisan dan kepercayaan akan apa yang ada di dalamnya. Setelah jeda panjang, kini waktunya melanjutkannya dengan buku-buku yang lainnya.

Seluruh isi dalam novel Dawuk sudah tak bersisa lagi. Kecuali halaman biodata penulis, judul buku, dan daftar isi. Aku menggunakan tiap halamannya sebagai pembersih tangan, tubuh, bahkan beberapa halamannya berguna untuk membersihkan sperma.

Di awal tahun baru ini, saat kebakaran menjadikan Australia layaknya neraka. Banjir besar Jakarta dan sekitarnya yang tampak lucu. Juga, perang antara Iran dan Amerika yang terlihat menyenangkan. Aku kembali menertawakan proyek kemanusiaan dan nilai-nilai luhur yang dianut manusia dengan cara yang membuatku hanya bisa kembali tersenyum.

Di abad ini, setelah banyak kejadian di masa aku hidup. Sastrawan kian menjadi jauh lebih usang. Lalu sastra, adalah cerminan konyol dari manusia itu sendiri.

Dengan kembali membakari buku-buku sastra yang dianggap hebat dan populer di negara ini. Aku ingin menampar para sastrawan tepat di masaku sendiri. Apakah mereka masih memiliki isi kepala atau tidak. Atau hanya sekedar seperti manusia lainnya. Sastra tak lebih dari omong kosong lainnya untuk sekedar melanjutkan hidup manusia. Terlebih bagi maniak konsumen yang malas berpikir dan merenung.

Dengan membakar sastra Indonesia, aku akan membuka sebuah babak baru, akan dunia yang dipertahankan dalam delusi massal. Sastra adalah salah satu obat untuk mempertahankan delusi massal itu secara berkelanjutan.

Aku memandangi novel Dawuk, dan mulai membuka segel dari Semua Untuk Hindia.

Buku milik Iksaka Banu ini, akan menjadi tisu dan pembersih diri yang selanjutnya. Satu halaman pun aku robek sebagai tanda awal dari buku Semua Untuk Hindia, menikmati identitas barunya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang