MELANJUTKAN MEMBAKAR SASTRA INDONESIA

2.9K 145 46
                                    

Aku telah menghentikan membakari buku-buku sastra Indonesia sejak beberapa bulan yang lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku telah menghentikan membakari buku-buku sastra Indonesia sejak beberapa bulan yang lalu. Buku terakhir yang ingin aku bakar adalah milik Faisal Oddang. Setalah periode berpikir ulang dan aku rasa percuma. Aku menghentikannya dan memilih mundur sejenak. Memfokuskan diri ke hal lainnya dari pada meneruskan kontroversi yang tak menghasilkan apa-apa.

Tapi kini, aku sangat ingin meneruskan pekerjaanku yang tertunda itu. Beberapa waktu yang lalu aku sudah memilih beberapa buku yang bakal aku bakar. Seperti buku milih Rio Johan, Faisal Oddang, Iksaka Banu, Yusi Avianto, Avianti Armand, dan banyak lainnya. Terlebih, mereka yang satu generasi denganku.

Melihat sastra Indonesia yang nyaris tak bergerak ke mana-mana, membuatku sadar bahwa, butuh perang baru agar sastra kembali hidup. Tapi untuk apa? Saat tulisan sudah terpuruk dan hanya sekedar menjadi terapi dan dekorasi hidup.

Banyak orang masih mempercayai sastrawan dan menganggap sastra adalah karya luhur dan luar biasa. Sebagian lainnya menjadikannya suci dan layak untuk dikagumi sedemikian besarnya. Sebagian yang lain, menganggap sastra tak lain bukan adalah mulut dari kebenaran. Ya, dunia sastra, di mana isi tulisan dan kata-kata sudah runtuh. Tak lagi bisa diselamatkan ke segala jenis utopia baik. Selama tulisan terus dilestarikan dan bahasa terus dipakai. Semua utopia sastra yang dianggap baik itu hanyalah omong kosong. Atau kesementaraan yang nyata setelah itu kembali berulang lagi.

Tulisan menyimpan musuh terbesar sastra itu sendiri. Segala jenis kejahatan tersimpan dan tersebarkan dengan rapi melalu tulisan-tulisan dan bahkan sastra itu sendiri. Pendokumentasian dan pengekalan peristiwa dan nilai yang dianggap buruk itu sendiri melalui tulisan yang dilestarikan dari generasi ke generasi adalah kekalahan yang begitu telak.

Lewat tulisan dan bahasa, terlebih pendidikan dan buku. Orang akhirnya tahu apa itu kejahatan tingkat tinggi sampai mengagumi sekian banyak pembunuh besar dalam sejarah. Pendidikan yang dilalui dan menggunakan tulisan dan bahasa, sejatinya sudah memperjelas kegagalan itu sendiri. Sastra hanyalah sekedar omong kosong saat dunia tulisan di sekolah saja membuat orang terkotak-kotak dan menjadikan ajang diskriminasi sosial luar biasa yang mencoloknya.

Selain itu, sastra Indonesia nyaris jalan di tempat. Sedikit kebaharuan. Begitu penakut dan pengecut. Dan kian hari, sastra Indonesia sulit dibedakan dengan sastra populer atau metro-pop. Lalu, buku-buku sastra yang nyaris terus-menerus bersifat etnologis, seolah-olah menjadikan sastra kembali ke abad 18-19. Sastra Indonesia terjebak di situ. Saat dunia bergerak sudah terlampau jauh.

Parahnya, nyaris tak ada perdebatan atau diskusi yang serius di kalangan sastrawan. Menemukan obrolan yang berkualitas di antara para sastrawan hari ini begitulah jarang. Mayoritas sastrawan hari ini sekedar ingin menulis saja saat para ilmuwan menemukan hal-hal besar dan membuat buku-buku yang lebih bagus dari pada kesusastraan yang nyaris berhenti. Tentunya, banyak sastrawan bukanlah filsuf. Berbeda dengan filsuf yang mencari dan mencoba menemukan penjelasan dan jawaban atau kesimpulan akan dunia. Kini, para sastrawan sekedar terjatuh sebagai penulis biasa pada umumnya. Mereka berhenti berpikir. Mereka menggadaikan kebebasan isi pikiran mereka hanya agar bukunya diterbitkan dan dibaca banyak orang. Dalam dunia semacam itu, sedikitlah buku dengan gaya, isi, tema, dan bentuk yang baru muncul.

Para sastrawan akhirnya sekedar bermain aman. Seperti halnya para penulis remaja yang ingin memiliki banyak penggemar dan pembaca.

Kondisi ini, di masa kritik sastra nyaris tak dianggap. Kualitas sastra Indonesia di tangan generasi mudanya begitulah sangat menyedihkan. Banyak buku bermunculan yang pada akhirnya tak lebih baik dari pada buku populer pada umumnya. Buku-buku yang memenangkan perhargaan bergengsi pun sangat menyedihkan, seolah, mayoritas besar sastrawan tua dan juri yang ada, diisi oleh orang-orang buta. Memenangkan naskah yang begitu mengerikannya dan sebentar lagi tamat riwayatnya.

Anehnya, pendewaan terhadap buku, terlebih sastra, berada pada tahap layaknya kultus. Banyak orang marah saat aku membakar buku-buku sastra waktu itu tanpa mau memahami filosofi yang aku temukan tentang dunia tulisan dan kenyataan sastra Indonesia itu sendiri. Saat aku meninggalkannya, aku sudah terlalu muak dengan sastra Indonesia yang berkubu, sangat tak dewasa, saling melindungi, dan pembohong ulang yang tak mau mengakui kebohongannya.

Apakah membakar buku sastra adalah sebuah kejahatan dan tindak laku yang hina? Tidak. Membakar buku-buku sastra bagaikan tengah membakar mitos-mitos. Sebagian mitosnya, sastra dianggap sebagai sesuatu yang luhur, tinggi dan alat ucap kebenaran. Kenyataannya, sastra tak ayal, hanyalah kebohongan yang disepakati bersama.

Dengan membakar sastra Indonesia. Aku bermaksud membakar mitos-mitos yang penuh omong kosong itu. Dan merayakan kenyataan akan begitu terbelakangnya sastra Indonesia selama ini.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang