SETELAH CANTIK ITU LUKA: BACCHUS

111 5 0
                                    

Butuh hampir satu tahun untuk bisa menyelesaikan Cantik Itu Luka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Butuh hampir satu tahun untuk bisa menyelesaikan Cantik Itu Luka. Buku tebal itu, akhirnya hanya menyisakan satu lembaran halaman judul di dalamnya. Menyelesaikan buku bukan dengan membacanya. Tapi merobeknya.

Sangat aneh memang. Terlebih bagi banyak orang. Tapi itulah yang sedang aku lakukan. Kegiatan yang akan terus aku lakukan selama aku masih hidup.

Merobek dan membakar Sastra Indonesia.

Buku Benny Arnas, Curriculum Vitae, tergelak menyendiri di atas lantai hampir satu bulan lamanya. Sedangkan Sergius Mencari Bacchus, aku baca sesekali. Lalu hari ini, sambil membaca buku lainnya, aku membawa buku kepunyaan Norman Erikson Pasaribu itu, sebagai tisu pengganti Cantik Itu Luka.

Akhir-akhir ini, aku hanya hidup sebagai pengamat. Sekedar mata. Yah, sekedar mata. Kalimat yang akan selalu aku ingat dari novel Ayu Utami yang berjudul Larung.

Manusia yang hanya sekedar mata. Itulah diriku hari ini. Juga seperti itulah sastra. Hanya sekedar mata.

Sebagai orang yang sadar diri dan memilih menjadi kaum eksistensialis yang apatis. Apatisme yang lahir dari filsafat nihilisme yang aku anut. Aku menikmati suasana cafe dengan sebuah buku yang aku jadikan sebagai penghibur.

Menikmati diri sendiri. Mengabaikan dunia. Seperti kebanyakan orang yang setiap hari mengabaikan dunia tapi masih saja berlagak peduli terhadap dunia. Lalu, merobek Sastra Indonesia.

Kegiatan yang menyenangkan. Indah. Juga menghibur.

Dalam kafe ini, Starbuck, aku mengamati orang-orang. Orang-orang yang mungkin tak peduli apakah orang lain di seberang dunia sana tengah berjuang akan hidup dan mati. Demonstrasi para buruh yang berakhir seperti biasa. Perpolitikan yang menjadi area kematian para sastrawan. Dan hal-hal yang mungkin akan menjadi bagian yang tak penting bagi mereka yang setiap hari hidup mapan, memiliki uang, dan tak terkait dengan kelesuan ekonomi.

Menjadi orang kaya, kita bisa nyaris mengabaikan dunia dan sekitarnya. Kecuali hal-hal yang dianggap sebagai hiburan diri dan penerus hidup.

Dalam masa pandemi ini, saat pemecatan massal terjadi. Saat banyak orang kesulitan mencari pekerjaan. Dan sebagian keluarga mungkin mati karena depresi. Orang-orang kaya sibuk memperbicangkan Iphone 12 dan Playstation 5. Dunia kemiskinan, hal-hal yang terjadi di jalanan, dan perang di banyak tempat, bukan urusan yang penting.

Dunia adalah hiburan. Menikmati diri sendiri. Dan menyenangkan diri dalam dunia keseharian. Kredo baru yang diusung oleh banyak orang. Juga oleh para sastrawan hari ini.

Buku sastra, sebanding dengan khayalan manusia dalam dunia media sosial. Sebuah khayalan yang bernama empati. Dan khayalan yang bernama manusia.

Dalam dunia pandemi ini, sastra membisu. Tapi khayalan mereka tetap melebar kemana-mana. Melebar menjadi tulisan sastra. Buku-buku. Perhelatan sastra. Pertemuan sastra. Penjurian sastra. Perbincangan sastra. Dan perlombaan sastra.

Itulah sebabnya, pandemi hari ini, yang tepat berada di duniaku sehari-hari, telah menjadi kebisuan nyata sastra di dunia nyata. Tapi di dalam media sosial, mereka yang terlibat dalam dunia sastra masih sibuk mengkhayal. Menuliskan hal-hal yang berbau politik, kritik, keadilan, dan nilai-nilai yang mereka anggap busuk dan tak layak.

Padahal, setiap hari, sang sastrawan ini, nyaris tak melakukan apa-apa. Kecuali sekedar menuliskan khayalan mereka. Khayalan yang mirip delusi. Atau mereka sudah terlanjur menganggap tulisan adalah kenyataan keseharian mereka.

Dunia selain tulisan adalah diam. Rasanya, mendekati semacam itu.

Aku menikmati minumanku yang seharga delapan puluh ribu rupiah. Mahal memang. Tapi orang-orang di sekitarku ini, sudah terbiasa menikmati hal-hal mahal. Hal-hal yang mungkin dikeluhkan oleh banyak pihak.

Hal-hal yang juga, akan dipandang tak menyenangkan oleh sebagian sastrawan aktivis yang sakit hati. Yang terlalu dijejali oleh ideologi dan dogma moral yang membuatnya setiap hari memandang, bahwa kekayaan dan orang kaya itu buruk.

Pada kenyataannya memang buruk. Tapi mereka yang tak menyukainya, sayangnya, juga sama-sama buruknya.

Tapi apakah sebagian dari jenis sastrawan semacam itu, mampu menilai diri sendiri dengan lebih adil? Atau, berceloteh menghindar. Atau beralibi.

Entahlah.

Kasus yang menarik saat pandemi sekarang ini adalah buku Martin Suryajaya, yang diulas di mana-mana secara pribadi. Yang coba ditelaah di berbagai komunitas secara bergantian. Tapi hasil akhirnya tetap sama.

Muncul sekejab. Lalu lenyap.

Sedangkan buku yang ada di depanku ini, juga bernasib sama. Sekejab datang. Lalu menghilang.

Buku pemenang pertama sayembara manuskrip buku puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Yang tak lama diterbitkan. Kemudian diobral. Dan sekarang ada di tanganku. Aku robek satu halaman secara acak. Dan jadilan tisu secara seketika.

Seperti halnya Cantik Itu Luka. Halaman dari buku puisi itu aku gunakan sebagai lap meja. Satu lembar halaman, yang lembarnya cukup tebal, bisa aku gunakan beberapa kali. Jauh lebih baik dari pada tisu pada umumnya, yang sekali terkena air, langsung rusak.

Udara menjadi lebih dingin. Langit lebih pucat dan sebentar lagi, mungkin akan hujan.

Aku masih di sini. Membaca. Mengamati. Menikmati diri. Membayangkan. Sedikit berpikir. Dan tentunya, menghadapi kenyataan, buku pemenang sayembara sastra, di negara ini, pun pada akhirnya diobral, dijadikan tisu, dan menghilang seolah tak pernah ada.

Atau kita semua bisa berpura-pura bersama. Bahwa pernah ada, sebuah buku yang berjudul Sergius Mencari Bacchus. Sampai pada akhirnya, kita tak lagi tertarik untuk membaca, dan memperbincangkannya.

Ah, entah berapa banyak buku sastra yang dijual. Lalu diobral. Setelah itu menjadi bangkai kata-kata.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang