SATU FILSUF, RIBUAN SASTRAWAN

1.5K 70 18
                                    

Bagi Camus, pertanyaan terbesar manusia adalah bunuh diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bagi Camus, pertanyaan terbesar manusia adalah bunuh diri. Tapi dalam buku Sociobiology, Edward O. Wilson menolak pernyataan itu sebagai sesuatu yang tak layak kecuali hanya sebatas guratan emosi yang lahir dari kepala yang berisi bahan kimia dan tubuh yang menjadi rumah bagi kolam gen semata.

Bagi banyak pakar biologi evolusioner semacam Wilson, emosi tak lain bukan hanyalah perkara yang menyangkut sistem limbik dan hipotalamus semata. Seseorang yang sudah terlalu sering membaca Richard Dawkins, pasti akan mudah memahaminya. Karena perbandingan ini nyaris akan sama beratnya saat ada seseorang yang mengatakan bahwa tulisan adalah rumah yang dibesarkan bersama untuk memelihara dan menciptakan monster-monster. Tapi sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh para biolog evolusioner. Mengatakan bahwa tulisan yang diagungkan dalam bentuk buku, terlebih sastra, sama tak ubahnya ingin mengatakan bahwa kehidupan tercipta bukan dari Tuhan. Dewasa ini, sastra terlalu lama menjadi Tuhan dan manusia memberikan ritual terbesarnya bagi tulisan yang dipercaya sebagai persembahan paling agung dan luhur di hadapan dan bagi sastra itu sendiri.
Banyak orang akan tak terima jika manusia ini hanyalah sekedar kolam gen. Terlebih dalam The Selfish Gene, Richard Dawkins bagaikan menertawakan apa yang hari ini disepakati bersama oleh para sastrawan kebanyakan. Jika dasar sejarah manusia hanyalah egoisme yang disamarkan dalam bentuk moral dan nilai-nilai. Apa yang bisa diindahkan dalam sastra yang memberati dirinya dengan moral dan nilai-nilai yang dikandungnya?

Sebelum itu, dalam Beyond Good and Evil, Nietzsche mengejek semua kaum terdidik dan mereka yang menganggap baik dan buruk masihlah ada. Lalu saat Harari menerbitkan Homo Deus beserta sekian banyak sejarawan dan ilmuwan lainnya yang menerbitkan gagasan dan buku yang nyaris serupa dan di antara tentang alam semesta paralel seperti halnya Michio Kaku. Apa yang masih tersisa dari sastra? Terlebih sastra Indonesia yang bahkan terlihat jauh tertinggal dari komik Jepang yang disebut manga?

Mengatakan bahwa tulisan adalah rumah dari miliaran keburukan yang dilembagakan dan yang membuat dunia selalu terjerumus dalam perang dan ketidakadilan. Serta mengakhiri segala mimpi indah dan utopia-utopia yang ambruk dari berbagai ideologi dunia. Pasti akan sama tak enaknya saat seseorang di abad yang lalu menerima sebuah buku dari Charles Darwin yang berjudul The Origin of Spesies atau di pertengahan abad 20 saat Rachel Carson menerbitkan Silent Spring. Atau saat Nietzsche dalam The Gay Science, menyuarakan awal akan kematian Tuhan.

Awal kematian tulisan hampir sama menyakitkannya dengan awal kematian seni yang dimulai dengan semakin bangkrutnya seni lukisan di hadapan seni visual dan seni multimedia. Sejarah tulisan sebagai penyimpan sejarah manusia dan sebagai penopang perasan dan kehidupan manusia itu sendiri jauh lebih menyakitkan dan mengerikan dari pada seluruh penemuan yang ada. Tulisan akan semakin digusur dengan perangkat elektronik visual dari mulai televisi, film, game, sampai komik yang semakin terdigitalisasi. Tapi kelak, saat buku-buku menjadi terlampau kuno dan perkembangan sains serta perangkat elektronik menjadi kian canggih. Kata-kata atau tulisan menjadi kian usang walau tentunya tidak punah.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang