WAJAH SASTRAWAN KITA, YANG ANTI KRITIK

89 3 0
                                    

Saat seorang kritikus sastra dengan begitu mudahnya menganggap orang lain sampah, mengucapkan kata-kata kasar, menganggap orang lain gila dan segala macam sebutan buruk lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat seorang kritikus sastra dengan begitu mudahnya menganggap orang lain sampah, mengucapkan kata-kata kasar, menganggap orang lain gila dan segala macam sebutan buruk lainnya. Bahkan dengan mudahnya naik pitam, main tangan, mengancam, dan merendahkan orang lain dengan begitu entengnya. Apakah sastra masih baik-baik saja? Apakah sastrawan, yang juga kritikus sastra itu, sosok yang anti terhadap kritikan dan layak untuk dipuja-puja?

Sejak dulu, aku ingin melihat wajah sebenarnya dari para intelektual dan sastrawan. Dan wajah mereka, kebanyakan adalah anti kritik. Sangat tidak bijaksana. Begitu egois dan tidak dewasa.

Mereka bisa mengkritik siapa saja. Tapi mereka tak pernah siap saat dikritik balik. Selama ini kebanyakan dari mereka sangat aman karena terlindungi oleh komunitas bersama mereka. Nyaris tak ada yang berani mengkritik mereka. Tak ada yang mau berurusan dengan mereka karena cara mereka membully layaknya anak pelajar tawuran di jalanan.

Kebanyakan dari mereka berani menghina orang lain, menghujat, dan mengeluarkan semua kotoran kata karena mereka bersama-sama. Mirip anak tawuran yang tak berani sendirian. Jarang dari mereka begitu berani secara intelektual berbicara seorang diri. Tapi saat mereka diserang balik, ditelanjangi, dan diri mereka sendiri menampilkan sosok buruk yang selama ini mereka teriaki. Mereka menutup mata. Tak mau membahas kenyataan diri mereka sendiri. Lalu mengelak bersama. Menghindari kenyataan pahit, kalau mereka sendiri, juga bagian dari orang-orang buruk yang selama ini mereka hina.

Ironis memang. Sayangnya, jumlah mereka banyak. Mereka yang menyebut diri intelektual. Kaum terpelajar. Para sastrawan dan penyair. Nietzsche sejak dahulu kala sudah mencemooh orang-orang ini. Kumpulan kaum terpelajar dan intelektual yang terlalu banyak memakai bedak dan topeng. Mengaku diri membela ini dan itu. Merasa yang paling benar dan berjasa terhadap dunia ini. Tapi setelah dilihat dari dekat. Mereka hanyalah kumpulan orang-orang kacau yang jauh dari kata bijaksana.

Di ruang intelektual dan forum umum, mayoritas dari mereka diam membisu. Sedangkan yang pandai berbicara akan sering menghindari pertanyaan kalau itu akan menelanjangi diri sendiri.

Ketidakmauan mengakui diri sendiri. Kekurangan diri sendiri. Kegagalan diri sendiri. Berujung pada egoisme. Merasa paling benar sendiri. Tentu saja, menjadi sangat anti kritik.

Saat seorang intelektual menjadi sangat anti kritik. Itu bisa bahaya. Saat kritikus sastra sangat anti kritik. Untuk apa lagi dia mengkritik orang lain, nyaris setiap hari? Apalagi saat begitu mudahnya kata-kata kasar, menghina, dan merendahkan muncul dari seorang kritikus sastra, yang bersanding dengan nada ancaman dan kekerasan fisik. Apa yang akan muncul kelak? Negara diktator yang diisi kaum intelektual? Yang saling melindungi di antara sesama sendiri dan sangat brutal terhadap para pengkritik, oposisi, dan orang yang di luar lingkaran mereka?

Bisa jadi, kaum fasis intelektual muncul dari kalangan kritikus sastra yang bisa sesuka hati merendahkan manusia yang berbeda pandangan dan membiarkan golongan sendiri melakukan apa saja. Saling menguatkan di antara para calon dikator yang brutal.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang