PENULIS (SASTRAWAN) ADALAH BUDAK

328 20 21
                                    

Penulis adalah budak. Kebanggaan yang diperolehnya, tak lebih dari kebanggaan melalui perbudakan diri sehari-hari. Perbudakan yang berakhir atas hilangnya kebebasan bersuara, berekspresi, berpikir, dan melakukan perdebatan intelektual soktratik.

Hari ini, tak banyak penulis yang memiliki harga diri dan kebebasan pikiran. Penulis nyaris mirip seperti pekerja lainnya. Tak jauh beda dengan buruh pabrik, karyawan, dan buruh berpendidikan tinggi yang lain.

Demi melancarkan karir kepenulisannya. Mayoritas penulis hari ini berakhir sebagai budak penerbit, budak komunitas, budak pertemanan, budak kekayaan, budak pembaca, budak hukum, budak masyarakat, budak pemerintah, budak moralitas, dan sekian banyak lainnya, yang membuat status penulis menjadi begitu mengerikannya.

Penulis, sebagai budak paling modern dan berpendidikan, jika dilihat lebih dalam, akan menjadi suatu ironi bahwa hari ini, posisi penulis telah jatuh sedemikian menyedihkannya. Mereka bisa bebas berkhayal akan kebebasan, pikiran liar, dan segala yang aneh dan keluar aturan. Tapi dalam dunia nyata, mereka hanyalah budak. Keliaran pikirannya lebih sering berakhir di dalam tulisan saja. Kenyataan sehari-hari yang bisa kita dapatkan adalah kecenderungan para penulis yang bisu, tak punya suara, tak punya pikiran, dan bahkan lebih mirip seperti robot.

Demi buku yang terbit, demi lancarnya pemasukan, demi status penulis besar yang ditunjang penerbit, demi agar tidak dibenci pembaca, demi status sosial, lingkaran kemudahan dan yang lainnya. Banyak penulis hari ini telah menjadi budak yang sempurna.

Mendapatkan seorang penulis yang benar-benar intelektual atau jujur secara intelektual, nyaris mendekati punah. Mencari penulis yang bebas berpikir, berbicara, dan mengkritik apa dan siapa pun, nyaris seperti mencari keberadaan yang hampir tak lagi eksis. Bisa menemukan penulis yang memiliki kebebasan diri, pikiran, dan kebebasan suara dan intelektual, bagaikan tengah mencari khayalan yang terlalu baik. Abad di mana para penulis bangga dengan kebebasan diri, kebebasan pikiran, kebebasan suara, kebebasan berekspresi dan berkarya, telah berakhir.

Kebanggaan penulis hari ini adalah kebanggaan sebagai budak. Menjadi penulis berarti dia harus melemparkan diri ke jala sosial dan penjara pertemanan. Semakin terkenal seorang penulis, maka tingkat perbudakan diri sendiri semakin tinggi. Semakin banyaknya pertemanan dan relasi sosial di antara para penulis yang dia dapat dan coba pertahankan. Maka semakin baiklah dia dalam mempertahankan perbudakannya sendiri.

Sebagai budak yang sadar diri, para penulis akan menyensor dirinya terus-menerus. Di kepalanya akan terekam sikap patuh dan berhenti berpikir. Suaranya yang lantang akan berakhir dalam gelombang jejaring yang akan hancur jika dia memilih kebebasan intelektual. Sebagai manusia yang tak lagi memiliki harga diri, penulis menunduk sedemikian tunduknya dan demi mempertahankan sikap perbudakan diri itu, dia akan membungkam mulut, membungkam pikiran, membungkam hati, dan membatasi tulisannya sendiri layaknya sipir penjara yang profesional.

Semakin banyak pertemanan di antara para penulis dan orang berstatus tinggi. Maka akan sulit bagi penulis untuk berani berpikir bebas dan jujur. Berpikir bebas dan jujur secara intelektual akan berakhir cekcok, ketegangan, dikeluarkan dari komunitas, dibenci, diblack list, tak disukai, dijauhi, dan segala kemudahannya akan dicabut.

Itulah sebabnya, semakin tinggi status sastrawan dan penulis akhir-akhir ini bisa dinilai dari kepandaian dia melakukan perbudakan diri yang sadar. Semakin dia bersikap membudak, semakin terkenallah dia. Semakin lakulah buku-bukunya. Semakin disukailah dia oleh penerbit. Semakin mudahlah dia keluar negeri, ikut berbagai festival dan masuk dalam berbagai kategori penghargaan. Dan semakin dia membudak, akan semakin sukalah pembaca terhadap dirinya.

Karena penulis adalah budak milik publik. Budak bersama yang diakui oleh pembaca sampai penerbit dan dunia komersil lainnya. Maka, untuk mempertahankan ketenaran dan kelancaran penjualan bukunya. Penulis harus selalu pandai memperbudakkan diri.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang