BUKU SASTRA DAN AIR HUJAN

72 10 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selain membakar buku-buku sastra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Selain membakar buku-buku sastra. Juga, menjadikannya pengganti tisu. Siang ini, saat hujan mendadak saja jatuh dengan derasnya. Aku terpikir untuk melakukan hal-hal lain terhadap buku-buku sastra yang aku miliki.

Semisal, menjemur buku-buku sastra di tengah hujan rintik atau deras. Atau, membeli pancing dan membawanya ke laut. Apa yang akan terjadi jika buku sastra yang hari ini sangat ringkih bertemu dengan air laut?

Sayangnya, aku melupakan hal penting ini saat kemarin bermain sebentar di pantai. Buku yang sudah habis halamannya, Sergius Mencari Baccus dan buku yang halamannya baru habis seperempat halaman, Curriculum Vitae,  sempat aku bawa dengan maksud ingin aku bakar.

Dua buku itu malah ketumpahan es krim dan akhirnya terguyur hujan saat aku lupa mengangkatnya dari jemuran. Beberapa hari berlalu, aku benar-benar melupakannya. Sampai orang lain yang malah mengangkatnya dan menepikannya setelah dua hari diguyur hujan deras.

Hasilnya, buku itu menjadi agak lebih kecokelatan dan berlekuk-lekuk sebagai bukti dari air hujan yang menerpa.

Dan sekarang ini, saat dunia maya Facebook tengah sibuk dengan sastra yang selalu berisi kontroversi, saling menghujat, tindakan plagiat, dan hal-hal yang sudah aku tuliskan saat menulis esai soal buku Martin. Yang tentunya, hal-hal tidak jelas itu entah sampai kapan akan selesai dan sepertinya, para penggiatnya sudah terlampau kecanduan dengan hal-hal semacam itu. Aku malah hidup lebih santai dari pada saat dulu dalam dunia sastra. Lebih stabil. Tenang. Tak lagi ikut dalam perdebatan dan kontroversi sastra apa pun.

Banyak orang masih saja ribut dalam dunia sastra atau malah melakukan tindakan plagiat demi sekedar nama dan status yang sepele dalam dunia kesusastraan dewasa ini. Uang yang tak seberapa, ketenaran yang sudah tak lagi penting dan cepatnya menguap. Tak habis pikir masih saja ada orang yang rela melakukan apa pun demi bisa dikenal dalam ranah kesusastraan yang sudah rusak ini. Apakah orang-orang ini lebih gila dari pada diriku?

Lucu sekali rasanya melihat kenyataan kesusastraan sehari-hari yang lebih mirip anak kecil yang tak tahu malu, tetap dipertahankan oleh banyak pihak yang mengerti kenyataan sastra dan masih memiliki isi kepala. Ah, seandainya para penggiat sastra hari ini memang memiliki malu.

MEMBAKAR SASTRA INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang