🎲 Hurt Road

1.8K 437 58
                                    

"Malem nanti lo mau kesana lagi?"

Kenia mengangguk antusias atas pertanyaan Shasa. Ternyata permintaan Kenia pada Yoga tempo hari itu betulan direalisasikannya. Awal-awal di rumah Kenia, tapi semenjak beberapa hari yang lalu, mereka sepakat mengganti destinasi bertemunya menjadi di kafe saja. Pada malam hari tepatnya setelah jam kerja.

Shasa pikir Yoga masih galau perkara patah hatinya tapi apa ini? Bisa pula cowok itu rutin bertemu dengan gadis lain dan bahkan mengajarinya membuat kopi secara gratis?

"Kenapa lo nggak minta ajarin ke Juna aja btw, Ken? Secara dia kan baristanya Hoca. Yoga tuh manager. Terus dibanding Yoga, Juna lebih banyak fans ceweknya tau. Dulu di SMA gue Juna tuh paling ganteng diantara circle mereka."

Kenia mangut-mangut membenarkan. Tak lama dia mengerutkan kening, "Iya sih, lah tapi emang lo nggak tau? Juna kan baru aja resign dari kafe."

"Hah?!" Shasa langsung menoleh heroik. Sedikit memelankan suaranya lantaran kelas masih berlangsung kala itu dan sang dosen sekilas melirik ke arahnya. Setelah situasi cukup aman, Shasa melanjutkan obrolannya pada si teman sebelah, "Maksud lo gimana, Ken? Juna resign? Nggak di Hoca lagi??"

"Iyaa. Dih, kok lo ikutan kaget sih. Gue pikir lo malah tau masalah mereka apa. Kayaknya Juna sama Yoga tuh ada problem, soalnya pas gue mau nanya nanya tentang Juna, Yoga keliatan males ngomong, gitu."

Shasa termangu. Dia tidak pernah mengira Yoga akan ada masalah dengan Arjuna mengingat dari sejak SMA, mereka sudah jadi sohib kental.

Mungkin nanti Shasa harus bertanya pada Karina. Bisa jadi Jendra tahu tentang itu.

"Iya sih Jendra bilang emang lagi ada masalah mereka. Tapi dia nggak mau cerita ke gue. Katanya urusan laki-laki."

Suara Karina di ujung telepon. Shasa menggulum bibirnya, sembari menekan tombol di depan lift apartemennya. Selagi menunggu pintu lift terbuka, Shasa melipat kedua tangan dengan ponsel bertengger di sebelah daun telinganya.

"Jendra juga nggak mau cerita ya, berarti beneran seprivasi itu. Pasti Yoga juga nggak bakal mau cerita."

"Nah iya, udah biarin aja deh mereka selesaiin sendiri. Mungkin karena itu juga tuh Yoga jadi fucked up banget mana abis lo tolak. Makanya Jendra pesen, lo jangan makin nambah nambahin beban pikiran Yoga lagi dengan minta kalian tetep temenan kayak dulu."

Shasa mencibir. Pintu lift kebetulan sudah terbuka. Gadis itu pun masuk. Kemudia menekan tombol nomor lima.

"Ck, iya iyaa sekarang gue juga udah nggak ngedeketin Yoga lagi kok, bilangin Jendra. Apa harus gue pindah apart sekalian nih biar kalian semua puas?"

"Nggak gitu, Sha. Ya ampun salty amat."

Shasa melengos malas, "Ya udah lah. Bye, Na. Thank you infonya. Hati-hati lo nggak ada Jendra. Jangan sering-sering sama Ben."

"Dih, gue sama Ben juga cuma temen. Jendra udah tau kaliii."

Kekehan Shasa menguar. Usai sama-sama pamit. Shasa pun memutuskan panggilan itu. Detik yang tepat pintu lift terbuka. Sudah sampai di lantai lima rupanya. Shasa berjalan menuju unitnya.

Namun di tengah jalan ponsel si puan lagi-lagi berbunyi. Shasa menilik layarnya, ternyata panggilan dari Ayahnya.

"Assalamualaikum, Pa—"

"Nggak lulus TOPIK lagi kamu? Mama yang ngasih tau. Kok bisa dua kali ikut test bahasa gak lulus lulus? Apa yang udah kamu pelajari di kampus hah?"

"Ya kan masih dua kali, ntar yang ketiga aku usahain lulus."

"Masih dua kali kamu bilang. Si Giselle ikut JLPT aja cuma sekali langsung lulus. Tuh siapa lagi temen kamu, Karina? Iya, dia TOEFLnya paling tinggi pas SMA kan? Sha, jangan malu-maluin keluarga terus lah. Papa ini doktor. Mama kamu juga. Anaknya kok bisa-bisanya nggak pintar."

[✔️] 365247Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang