🎲 Titik Terendah

1.9K 434 72
                                    

Shasa menutup layar laptop di depannya lalu bersandar pada sisi bawah sofa. Dia melepas kacamata radiasi sebelum memijit pelan batang hidung itu. Usai mengerjakan tugas, tak terasa sekarang sudah jam sebelas malam saja.

Tanpa sengaja pandangannya berotasi lalu tertumbuk pada sofa di atas. Seketika ingatan Shasa langsung memutar ulang memori tentang beberapa hari yang lalu.

Apa Shasa terlalu jahat? Menolak Yoga dengan kalimat seakan sang pemuda hanya bertepuk sebelah tangan selama ini. Ya, walau Shasa tidak seratus persen berbohong. Gadis itu menyukai Yoga, namun tidak di poin ingin berpacaran dengannya.

Dulu semasa SMA Shasa juga sering mendengar komentar orang-orang tentang kedekatan dia dan Yoga. Hanya perbedaannya, Yoga lebih banyak mendengar respon positif sedang Shasa tidak.

"Si anak baru di kelas 3MIPA1 sama Shasa tuh pacaran nggak sih?"

"Yoga? Setau gue enggak sih, cuma ya keliatan emang Yoga nya naksir Shasa. Orang dia giliran urusan Shasa gercep banget buat nolongin."

"Sayang ya. Kok sukanya sama Shasa. Kek langit dan bumi banget nggak sih."

"Ho'oh. Shasa loh yang suka bolak balik bk. Yang kena kasus bolos lah, dateng telat lah, tidur di kelas lah, remidi lah. Parahnya lagi gue sempet denger dia hampir gak naik kelas tuh pas kelas dua dulu gara-gara suka cabut. Cuma karena ortunya donatur aja makanya di lolosin."

"Gila. Kasian banget deh asli kalo Yoga jadi sama dia. Takutnya ntar Yoga yang keikutan jadi nakal."

"Iya kan!"

Iya kan.

Alasan awal mengapa Shasa enggan memulai hubungan dengan Yoga. Selain itu, Shasa juga tidak pernah serius urusan berpacaran. Yoga terlalu baik untuk dijadikan bahan mainan bagi Shasa.

They better be friends like this, she thought. Not until Yoga confessing to her again.

"Apa sih yang lo sukai dari gue?" monolog Shasa sambil menghela napas pelan.

Bersamaan dengan itu, suara peringatan dari passcode pintu apartemennya terdengar. Seseorang terdengar baru saja memencet tombol kunci di pintu itu dan memasukkan nomor pin yang salah beberapa kali.

Shasa langsung berdiri. Takut, jika itu adalah maling. Refleks ia mencari nomor kontak Yoga. Lalu menghubunginya.

Sekian menit mendengar nada sambungan panjang di panggilan, namun tak kunjung dijawab. Maka seiring bunyi passcode yang juga memekakkan, Shasa akhirnya memberanikan diri untuk membukanya sendiri. Gadis itu meraih panci. Jaga-jaga kalau itu memang maling atau orang jahat lainnya.

Sang gadis menekan kenop, kemudian menarik cepat gagangnya. Matanya terpejam sambil berseru dan mengacungkan panci.

"HEH SAPA LO?! NGAPAIN—eh??" Shasa tak melanjutkan ucapannya karena Yoga sudah menjatuhkan diri ke arahnya. Gadis itu bersusah payah menahan bobot Yoga. "Ugh, Ga???"

Bau alkohol tercium dari tubuh pemuda itu. Shasa tak punya pilihan selain membawa Yoga masuk. Langkahnya menyeret lambat. Begitu sampai di sofa, ia membaringkan Yoga. Nafasnya menderu lelah.

"Bisa-bisanya lo minum tanpa gue? Dih, makanya wasted gini kan," cetus Shasa.

Yoga tak membalas, tentu saja. Lelaki itu bergumam tidak jelas. Khas tipikal orang yang sedang mabuk berat. Shasa hanya bisa melipat tangan di depan dada lalu menggeleng tak habis pikir.

Sebagai yang berpengalaman, Shasa bisa tahu bahwa Yoga tidak 'jago minum', mungkin ini pertama untuknya. Apa dia melakukan ini karena penolakan Shasa tempo hari? Shasa jadi tertegun.

[✔️] 365247Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang