Kilas balik kisah jaman SMA.
Entah kapan tepatnya, yang jelas status mereka kala itu sedang berada di tingkat tiga sekolah menengah atas. Itu adalah musim ujian. Yoga sakit di hari terakhir ujian, jadi dia mengikuti ujian susulan pada hari berikutnya. Kebetulan, Shasa juga demikian.
"Waktunya lima belas menit lagi ya, siap nggak siap, kumpul."
Suara sang guru pengawas menambah ketegangan di ruang perpustakaan yang sepi. Shasa mendesah lama, bisa berprasangka kalau dia mungkin akan remidi setelah ini. Sedang Yoga terlihat tenang. Dia sudah selesai dari sepuluh menit sebelumnya.
Hal yang tidak enak dari ujian susulan adalah tidak bisa mencontek. Ya, bagaimana pula untuk mencontek jika di ruangan itu hanya diisi oleh dua peserta dan satu pengawas. Lengah sedikit, lembar jawabannya akan langsung di amankan oleh beliau.
Pada akhirnya Shasa pasrah. Toh bukan hal baru jika dia harus remidi nantinya. Shasa sudah melakukan yang terbaik, menurutnya sih begitu.
"Oke, waktu habis. Jawaban kalian Ibu ambil ya."
Sang guru langsung menarik masing-masing dari lembar kerja muridnya. Beliau mengemas berkas lalu pergi setelah memperbolehkan anak muridnya pulang juga.
Shasa berdiri sambil menyandang ransel ke sebelah lengannya. Namun Yoga tampak sibuk membuka buku paket dan menulis sesuatu di kertas coretannya. Membuat kening Shasa bertaut heran.
"Ga, lo gak balik?" tanyanya.
"Oh? Duluan aja. Tadi kayaknya gue salah di satu soal ini deh," netra Yoga berpendar intens kemudian dia melenguh kecewa, "yah kan beneran salah! Harusnya gak gitu tadi."
Gadis itu sontak menghela napas dalam, "Ya udah lah kan udah lewat juga."
"Sayang banget."
"Gini ya, Gayo," Shasa menyampingkan tubuh. Mengambil postur seakan presentator ulung, "nasi udah menjadi bubur. Gak ada hasilnya juga lo menyesal kalau sesuatu itu udah terjadi. Let it flow aja sih. Kayaknya jawaban salah gue malah lebih dari banyak dari lo. Kalo dipikirin bisa-bisa gue stres."
Yoga terkekeh, "Hidup lo gak ada beban ya."
"Ya kali. Everything is fine selama nyokap-bokap gue gak tau sih hehe lagian we only live once kan, jadi be happy ajalah."
Waktu itu Yoga belum terlalu paham apa concern sebenarnya dari Shasa. Lagi pula orang tua Shasa dulu tidak sekeras yang sekarang. Ketika mereka menuntut Shasa menjadi anak yang melampaui kehebatan orang tuanya. Intervensi banyak pihak yang melatarbelakangi hal itu terjadi. Hingga di masa depan, Shasa betulan mulai membandingkan pencapaiannya dengan yang lain.
"Udah ah, ayok pulang. Tinggal kita doang nih ntar gerbangnya digembok."
Ujungnya Yoga menurut dan ikut menyandang tasnya pula. Ketika mereka sudah keluar, Yoga merogoh ponselnya. Membuka aplikasi ojek online. Shasa yang melihat itu praktis bertanya.
"Lo gak bawa motor?"
Yoga menggeleng, "Motor gue masih di bengkel. Tadi nebeng sama Juna."
"Hm, kalau gitu sama gue aja."
"Gimana?"
"Ya lo nebeng ke gue aja dari pada nungguin ojol lagi. Ntar lama. Tunggu ya, gue ambil motor."
Yoga masih terbengong-bengong mencerna kalimat gadis itu di posisinya. Sampai tak lama Shasa betulan sudah tiba kembali di depannya dengan motor matic.
"Ayo naik."
"Gue yang dibonceng?" tanya Yoga.
Shasa mengangguk, "Iya, nih motor gue agak aneh jadi kalau orang lain yang bawa takut kenapa-napa. Tenang aja, lo akan gue anter selamat sampai tujuan. Yok?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] 365247
FanficUntuk Yoga yang terbiasa berpikir dalam lingkup logika, Shasa adalah ibarat bilangan imajiner dari sebuah persamaan aljabar. Sifatnya unik. written on: July 11, 2021 - March 4, 2022. ©RoxyRough