14 | Smartwatch ✔️

1.2K 125 2
                                    

14

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14. Smartwatch

Langkah kaki seseorang dari arah tangga terdengar hingga ke tempat Vera berada. Kedengarannya tergesa, perlahan terasa seperti datang menghampirnya. Saat itu Vera menebak kalau orang itu pasti Alva.

Dan benar saja. Setelah bergumam dalam hati, tiba-tiba ada dua tangan terulur melingkar di pinggangnya. 

"Ma, Ma!" Kepala Alva menyembul dari lengan kanan Vera. Wajah bocah itu tampak berbinar. "Mama serius 'kan pas Mama itu bilang, Melvin adek aku?"

Kekehan ringan menjadi jawaban Vera atas pertanyaan putranya barusan.

"Mama bercanda aja sih," balasnya dengan nada mengejek. Setelah itu ia refleks melirik reaksi yang putranya tunjukkan.

Usai mematikan kompor setelah dipastikan masakan tumisnya itu matang, Vera berbalik badan. Kemudian menangkup wajah Alva dengan gemas. Walau tinggi Alva hampir menandingi tingginya, namun wanita itu tetap menganggap putranya masih bocah.

Alva itu anak manis yang dinanti oleh keluarganya selama bertahun-tahun. Tidak terasa kini sudah tumbuh besar. Sedangkan Vera masih terlalu takut untuk mengungkap rahasia yang ia sembunyikan.

"Ya Mama serius dong, Sayang! Bulan lahir Melvin 'kan memang di bawah kamu. Jadi apa kalau bukan adek? Kakak gitu? Jangan ngawur ya."

Alva menyengir bodoh. Sambil kemudian ia memeluk kembali daksa Vera dengan erat sampai wanita itu hampir terjengkang dibuatnya.

"Makasih ya, Mama! Alva sayaang sama Mama! Sayang se-sepuluh triliun, deh!"

"Emang kamu punya uang segitu, hem?" tanya Vera sembari mengusak rambut Alva yang semula lumayan rapi. Kini jadi berantakan sudah. Tapi si empu tidak merespon apa-apa tentang rambut.

"Enggak sih, tapi nanti kalo aku udah kerja ya. Aku kasih ke Mama."

Tanpa mereka sadari, perbincangan sederhana namun terasa hangat itu ternyata diperhatikan oleh seseorang yang lain. Seseorang itu adalah Melvin. Dia melihat semuanya.

Alih-alih merasa sedih atau bahkan meratapi diri sebab tak pernah berada di posisi Alva, Melvin justru tersenyum dengan lebarnya. Ia merasa amat bersyukur. Karena Alva tidak bernasib sama sepertinya. Cowok itu bahkan telah mendapat semua yang selama ini Melvin damba untuk bisa ia rasakan.

"Lo dapet semua yang enggak akan bisa gue punya, Va. Seneng, liatnya. Bahagia terus ya," Melvin bergumam. Ia lalu mengembuskan napas. "Tapi gue minta tetep rendah hati dan terus tetep jadi baik ya. Jangan jahat, soalnya gue takut," kekehan ringan pun terdengar setelahnya. "Panjang-panjang orang baik."

Bumantara dan LaranyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang