Bab 22 : Raihlah Tali itu

617 125 33
                                    

Happy Reading 🌹🌹

"Lalu bagaimana kita akan melewati hari? Bagaimana kita akan melawan waktu."

(Jejak Safar)

"Apa yang salah dengan Gus Zayan?" monolog Mawar saat baru saja membaca update status harian dari Si Gus Gantengnya pagi ini. Bila dilihat-lihat sejak kemarin Gus Zayan tak pernah terlihat sejak dirinya membantu memasak di dapur pesantren.

Biasanya pria tampan itu akan turun beberapa kali untuk Sekedae mencoba hidangan khusus yang sering dibuat Mbak Dalmi, menyapa orang dapur dan berbincang sebentar sebelum berangkat ke musala atau mengajar.

Karena letak kamarnya tepat di sebelah kiri tangga Gus Zayan juga kerap keluar untuk belajar atau sekadar menghirup udara segar. Hal itu tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi orang-orang sekitarnya termasuk Mawar.

Sedangkan dirinya kini terjebak pada pengabdian yang akhirnya akan menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan saat masih menjalani hukuman di pesantren Kiai Kholiq akhirnya terbawa hingga ke As-Shofwah. Melihat lantai kotor sedikit kain pel malayang, teras berdebu sedikit sapu mak lampir terbang.

Kembali ke As-Shofwah adalah keinginannya karena merasa tersiksa dengan keberadaan Gus Arkan dulu. Tetapi semakin ke sini ndalem Gus Alif malah terlihat lebih sepi dan terlalu bersih karena dirinya sapu berkali-kali. Mengabdi itu harus ikhlas tanpa pamrih, namun salahkah bila dia kesepian dan merasa rindu?

Bukannya selama ini Mawar mendeklarasikan dirinya untuk mencintai Gus Zayan sekalipun hanya bisa meraih bayangannya? Entah perasaan seperti apa yang dirinya taruh pada Gus Arkan hingga merasa se kesepian ini.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Madrasah kembali aktif dan gadis itu mulai menyibukkan diri dengan berbagai macam kitab dan urusan pelajaran. Pengoperasian handphonenya ditarik karena telah menyelesaikan sesi skorsingan dan hidup sebagai santri putri biasa. Mawar kembali pada hidupnya sebelum bertemu pria mana pun.

Bi Fatma juga sudah mulai sering mengunjunginya seperti biasa dan semua hal itu teras aneh. Setiap pagi bersekolah, siang pengajian, dan malam menikmati aktivitas menyenangkan dengan bercanda tawa sesama santri terlebih saat duduk berdua bersama Arin. Semua hal itu tak begitu spesial kali ini. Semuanya tak semenyenangkan dulu.

Setiap malam dia akan menangis sendirian tanpa sebab. Arin bahkan sering memergokinya termenung sendirian di taman sekolah. Mungkin Mawar marah karena tak satu orang pun menjelaskan apa pun padanya tentang perubahan sikap dan tingkah laku tidak jelas ini. 

"Kalian dengar kabar ndak kalau Gus Zayan akan menikah?"

Mawar menghentikan langkahnya seketika saat mendengar suara grasak-grusuk dari kantor daerah. Diam-diam dia mendengar percakapan dari dalam sana sembari bersembunyi.

"Menikah? Ndak salah? Kata siapa?"

"Tanggal pernikahannya sudah ditentukan kata Mbak Sasmi."

"Mbak Sasmi siapa?"

"Anak buahnya Nyai Saidah. Ndak heran sih sebenarnya namanya juga pewaris takhta calon istrinya juga sudah dipersiapkan."

Jantung Mawar rasanya seperti berhenti beroperasi saat mendengar ungkapan itu. Walau bukan tertuju kepadanya entah mengapa batinnya terpukul karena berani menaruh rasa pada orang yang tak seharusnya.

Karena tak ingin mendengar lebih banyak gadis itu segera melanjutkan langkahnya menuju dapur pesantren. Ia tak ingin menangis namun kenyataan ini benar-benar menyakiti hatinya. Dusta terbesar bila hati tak sedih bila yang dikasihi dikabarkan akan berada dalam pelukan orang lain. Rasaya akan tetap pedih walau diri ini tak bisa memiliki.

HaryakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang