BAB 17: Melebur

1.1K 177 26
                                    

Happy Reading

***

Zayan Haryaka Althaf, pria yang tak dingin juga tak hangat pada sekitar. Pria keras kepala yang tak pernah bisa menumpahkan setiap keluhnya karena takdzim dan patuh hingga kesulitan memutuskan apa pun.

Pria beku yang di kedalaman pikirannya selalu menjadikan logika sebagai tolak ukur. Baginya, sebagian yang tak bisa dirumuskan dan dianalogikakan hanyalah sebuah ruang kosong tak berarti, seperti halnya cinta.

Terlalu banyak kitab yang membawanya pada perumusan cinta yang sulit. Pemahaman, hakikat, dan alasan yang seharusnya mudah menjadi sangat rumit untuknya. Sebelum dia merasakan hal aneh baru-baru ini.

"Cinta hanyalah pengkaitan matematika tak terbatas."

"Cinta adalah pemberian Allah yang paling besar untuk manusia. Karena cinta Allah untuk Muhammad diciptakanlah bumi ini. Pemahaman seperti itu ndak ada di kitab. Pengkaitan matematika tak terbatas apanya!" bantah Kiai Kholil.

Gus Zayan tersenyum simpul dan kembali memijat punggung sang kakek setelah sempat terhenti tadi. Keduanya tengah duduk berdua di cangkruk samping ndalem sembari mengawasi santri yang tengah berlalu-lalang.

"Kok tiba-tiba membahas cinta? Sampean lagi jatuh cinta ya?" tanya Kiai Kholil yang dijawab gelengan kepala oleh sang cucu. "Mboten, Mbah."

"Masa?" Pria berjanggut putih itu melirik sebentar Gus Zayan yang tampak salah tingkah. "Biasane yang dibahas malam-malam begini sama mbah orang-orang radikal, metode pengajaran ulama jaman dulu, ini kok malah melenceng pembahasane."

"Ehehe, nganu, Mbah ...,"

"إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ أَحَبَّهُ"

"Tapi, Mbah ...,"

"Sudah-sudah mijitnya, mbah mau tidur!" sela Kiai Kholil sembari meraih tongkatnya. "Oh iya, malam ini sampean bantu anak-anak keamanan patroli ya, sekalian pikirkan omongan mbah barusan."

"Njenengan ndak tak antar ke dalam, Mbah?"

"Ndak usah! Sudah sana, mbah tak ke dalam dulu, assalamualaikum."

Sejenak Gus Zayan termangu menatap langkah kakeknya yang menjauh dari tempatnya. "Waalaikum salam."

Seperti permintaan Kiai Kholil, malam ini Gus Zayan ikut berpatroli bersama teman-teman keamanan pesantren. Namun sayangnya dia tak lagi bisa berkonsentrasi karena selalu terbayang-bayang ucapan kakeknya.

Bagaimana perasaan yang timbul dari beberapa kemungkinan-kemungkinan bisa disebut cinta, sedangkan hanya menjadikan patokan dari satu atau dua pertemuan singkat?

***

Sudah menjadi kebiasaan bagi Mawar jika setiap pagi harus bertemu dengan wajah masam Gus Arkan yang selalu marah-marah karena hal-hal kecil. Entah sawan atau apa pria itu selalu mengomel bahkan hingga saat ini.

"Kamu itu nyapunya bagaimana, sih? Itu kurang bersih!" ujar Gus Arkan sembari menunjuk lantai yang sudah jelas-jelas kinclong.

HaryakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang