BAB 4: Beda cerita

2.1K 240 41
                                    

Happy Reading⚘⚘

***

Yang Ning Hilda rasakan setelah terjun adalah dingin dan sesak. Matanya tertutup dengan pikiran kalut. Tubuh kurusnya seperti batu besar yang terus tenggelam mencari dasar. Dasar lautan yang saat ini akan menenggelamkan semuanya.

Dengan tenang semua berjalan. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Sampai ...

"BYURR!!"

Persis seperti gajah yang dihempaskan ke dalam air. Menimbulkan gelombang besar yang seperti bom. Ning Hilda terpaksa membuka mata dan berenang lihai ke arah sana.

Matanya membulat kala menemukan sosok yang beberapa detik lalu sempat mencegahnya meloncat ke dalam air. Sosok pria yang ketampanannya baru ia sadari saat menutup matanya. Pingsan atau mati, Ning Hilda tak tahu.

Tak ada cara lain. Nyatanya terjun ke dalam lautan merah ini tak membuatnya mati. Justru membuatnya sadar bila kehidupan harus dipertahankan seburuk apapun itu. Setiap masalah pasti ada solusinya, dan setiap luka, pasti ada obatnya. Sayangnya dia baru menyadarinya sekarang.

Masih mencoba membangunkan pria itu, Ning Hilda terpaksa harus menariknya meski cukup sulit karena tubuh bongsornya yang berat. Beruntungnya, saat mencoba ke permukaan, dia menemukan sebuah karang yang tak terlalu besar ukurannya tidak jauh dari sana.

Semakin sore air semakin dingin. Dan beruntungnya lagi air yang kemerah-merahan itu mulai sedikit surut. Ombak yang tadinya mengamuk menabrak karang tinggi terpaksa tertarik ke tengah hingga menyisakan dua orang, pria dan wanita yang berada di atas karang sana.

"Hei, bangunlah! Jangan terus-terusan pingsan begini!" Dengan sedikit keras Ning Hilda menekan-nekan dada pria itu. Tapi sayangnya dia tak kunjung membuka mata.

Sangat menyusahkan! Awalnya ingin bunuh diri, sekarang malah berujung menolong orang yang awalnya ingin menolongnya tapi berujung ia tolong, ah! Membingungkan.

Tak berputus asa, Ning Hilda berusaha mencari ponsel atau barang apapun yang ada dalam saku baju pria itu. Dan di sanalah ia menemukan dompet berisi KTP, kartu mahasiswa, dan beberapa lembar uang juga kartu ATM. Sementara di saku sebelahnya Ning Hilda menemukan sebuah ponsel yang masih bisa dinyalakan.

"Faaz Azmi Maulana Al-Farizi" gumam Ning Hilda saat membaca nama yang tertera di kartu mahasiswa milik pria yang ia pangku kepalanya ini. "Aku, harus memanggilnya apa?"

Tak ingin berlama-lama dalam tanya, Ning Hilda segera mencari-cari nomor seseorang yang ada di dalam ponsel pria itu. Ketemu, Fendi. Pria yang beberapa pekan lalu bersamanya saat mereka bertemu di taman. Ya, dia masih mengingat wajahnya. Persis sama seperti di profil whatsaapnya.

Tanpa ragu Ning Hilda menekan gambar berbentuk telpon itu dan menanti seseorang di seberang sana mengangkatnya. Satu menit, Ning Hilda kembali memanggil karena tak di angkat. Dan .... tersambung!

"Halo, Assalamualaikum. Ada apa, Mas?"

"Wa-waalaikumsalam, Ini ... F-fendi?"

"Halo, assalamualaikum? Mas Azmi? Ini ... Mas Azmi? Mas Azmi, halo? Mas Azmi di mana? Ini siapa?"

"Tenang ... tenanglah dulu, dia ... Maksudku, Azmi. Berada bersamaku, dan keadaannya cukup buruk. Jadi, bisakah kamu datang ke mari?"

HaryakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang