Happy Reading😙😙
***
"Abimu baru pulang lusa. Sementara besok ada undangan yang dilayangkan kepadanya. Mbah ingin sampean yang menghadirinya."
"Kulo? Mbah, kulo mboten saged," (Mbah saya tidak bisa) tolak Gus Arkan pelan meski keterkejutannya tampak jelas. Jadi karena ini dirinya dipanggil.
"Saged!" (Bisa!)
"Nanging, Mbah, kulo enten acara kaleh rencang kulo." (Tapi, Mbah, saya ada acara dengan teman saya.)
Alasan. Pasti begini yang dikatakan oleh cucu sulungnya saat dimintai menggantikan sang ayah dalam setiap urusan. Entah acara dengan teman, pura-pura tidak enak badan, dan seribu macam alasan yang lain.
"Sampean purun, Mbah kang rawuh?" (Kamu mau mbah yang datang?)
"Welah dalah nggih ampun, Mbah." (Waduh ya jangan, Mbah)
"Mbah kang rawuh mawon. Mengko bade kepanggih gusti Allah teng mriko wes terserah!" (Mbah yang mau datang saja. Nanti mau ketemu 'kepanggil' gusti Allah di sana ya terserah.)
"Loh, ampun toh, Mbah! Njenengan niku kan taseh bade nggawa cucu kulo." (Jangan mbah, sampean kan masih mau gendong cucu saya.) Gus Arkan mulai kelimpungan.
"Bocah gendeng! Nggawa cucu sampean, rabi ae ndurung!" semprot Kiai Kholiq sadis. Gus Arkan hanya cengengesan saat sang kakek memukul kepalanya. Pria itu membawa tangan sang Kiai untuk diciumnya sebelum diusap-usap.
"Purun, mboten?" (Mau tidak?)
"Nopone purun, Mbah?"
'Plak!'
"Aduh!"
Gus Arkan tak bisa mentolelir lagi, pukulan kakeknya kali ini benar-benar menyakiti kepalanya. Semoga saja otaknya tidak kaget dan kabur untuk mencari hunian baru.
"Arkan!"
"Nggih, Mbah. Purun! Kulo purun." Terpaksa dirinya iyakan saja permintaan itu. Bila tidak, mungkin sang ayah juga akan ikut menceramahinya karena sudah tak patuh pada mbah yai.
Lagi pula, acara seperti itu apa asyiknya? Duduk lama sembari berceramah mengenai kajian hukum, bersalam-salaman, dipuja-puji, lalu diperlakukan seperti orang asing. Akan lebih menyenangkan menaiki rinjani dan menikmati senja dengan tenang.
"Mbah, telepon Zayan boleh, Mbah?"
"Ora usah!"
Gus Arkan menghela napas. Namun matanya menangkap sosok gadis yang hijab birunya ia kenali. Mencoba mengintip namun sayang dia sudah pamit pergi dengan tunduk.
Mawar memutuskan pamit setelah meredakan keterkejutannya. Dia tidak ingin berhadapan dengan pria itu lagi, dia bisa gila karena malu sudah pernah bermasalah dengan putra Gus-nya.
Bagaimana mungkin pria itu adalah Gus Arkan? Bagaimana mungkin dia tidak tahu bila pria yang dia maki-maki adalah pewaris takhta pesantren ini? Sudahlah, tak ada gunanya menyesal dan mengutuk diri sendiri. Tapi, tetap saja ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Haryaka
RomansaMawar, seorang santriwati asal Kalimantan yang hanya bermodalkan nekad untuk nyantri di luar pulaunya. Awalnya dia hanya berniat kabur dari genggaman ayah tiri yang hendak menjualnya menjadi pelacur. Pelarian itu tanpa siapapun ketahui membawa Mawa...