BAB 9: Abdi Ndalem

2.1K 259 42
                                    

Happy Reading😘😍

***

Mawar tahu bila dirinya bersalah. Nyai Saidah mengampuni kasusnya hingga kini bisa sampai di Al-Hikmah adalah sebuah keberuntungan besar baginya.

Mengabdi dua bulan di pesantren milik Kyai Kholiq yang kini di bawah pengawasan Gus Daffa, adalah sebuah anugerah bila melihat kasusnya yang tak terampuni. Nyai Saidah memiliki perhatian berbeda kepada dirinya hingga dengan mudahnya ibunda dari Gus Alif itu menaruhnya di pesantrej yang tak jauh dari As-Shofwah.

Hanya saja, sekarang Mawar bingung untuk membayar uang pendidikannya setiap triwulan. Bagaimana dia membayar semua itu setelah dirinya yang bekerja sudah di ketahui pihak pesantren? Tidak mungkin bila harus melanggar lagi.

"Mawar, sudah sampai." Lina, salah satu anggota keamanan yang ikut mengantarkannya ke ndalem Kyai Kholiq berseru. Gadis berusia dua pupu lima tahun itu sudah turun terlebih dulu dari bus. Memang, letak Ndalem Kyai Kholil dan sang Adik yang tak terlalu jauh mencukupkan satu jam saja perjalanan hingga sampai.

Mawar meraih tas gendongnya yang besar. Dia bersama dengan satu orang santriwati skorsingan juga bernama Riya. Entah apa kasusnya, dia juga tak mengerti karena sebelum ini mereka tak pernah bertemu. Tapi, sikapnya cukup baik. Terbukti saat gadis itu membawakan tas Mawar yang lumayan berat.

Mawar dan Riya masih belum berkenalan tetapi mereka sudah mulai menyamankan diri karena akan tinggal bersama selama dua bulan. Keduanya melintasi setiap tempat pesantren yang tak jauh berbeda dengan As-Shofwah. Hanya saja, mungkin di As-Shofwah lebih banyak santri dan mewah infrastrukturnya.

Sampai di ndalem Bu Nyai, mereka berdua disambut oleh seorang wanita cantik. Tentu saja, Mawar sudah tahu bila dia adalah Ning Zalfa. Bibi Fatma pernah memberikan foto teman sekaligus Ningnya selama masih nyantri dipesantren dulu.

Dan memang benar, sangat cantik. Tangannya masih lembut meski sudah sedikit berkeriput. Dan wajahnya persis seperti Nyai Saidah. Hanya saja, Ning Zalfa jauh terlihat lebih kalem dan tenang pembawaannya.

Di ndalem sana Ning Zalfa memberi Mawar dan juga Riya wejangan agar tidak sungkan dan takut berada di lingkungan yang baru. Tapi tetap saja, meski Ning Zalfa berkata begitu, mereka masih merasa asing dan tak nyaman.

Selesai memberi wejangan dan sambutan, Ning Zalfa pamit pergi bersama suaminya. Yaitu Gus Daffa. Anak Ndalem yang lain juga mengatakan bila Ning Zalfa dan Gus Daffa hendak pergi menghadiri acara di surabaya siang ini.

Lina dan mobil As-Shofwah sudah pergi, tapi Mawar dan Riya masih berdiam di tempat. Sampai, salah seorang abdi ndalem bernama Andin menghampiri keduanya untuk memperlihatkan kamar yang akan mereka tempati.

"Nanti pas makan malam, biasanya Abahyai Kholiq akan turun ke bawah. Kalian bisa masak, ndak?"

Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Riya dan Mawar saling lihat saja. Riya menggeleng, sementara Mawar mengagguk sumringah. Memasak adalah jiwanya, sudah lama sekali tidak berjibaku dengan alat masak.

"Oh iya. Sekarang malam selasa biasanya cucu-cucu Abahyai akan datang untuk mengaji dan makan bersama," tambah Andin.

"Abahyai punya cucu, Mbak?"

"Loh, yo gadah toh, Nduk!" Andin malah cekikikan sendiri.

"Tidak jelas!" Riya dan Mawar membatin itu secara bersamaan.

HaryakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang