(9)

4 1 0
                                    

Hai, maaf ya lama nggak update. soalnya diterjang arus tugas dan revisi terus (hilih sombong). Dan alasannya lagi masih sepi pembaca, jadinya kurang semangat (huhu). Mari kita lanjutin tentang kisah Nora dan siapapun jodohnya. Kali ini ada sedikit rombakan alur cerita, jadi mohon maaf kalau sedikit membingungkan.

•_•

Suasana sekitar Nora mendadak hening, sepi, bahkan bisa dibilang sunyi. Setelah kepulangan teman-teman organisasinya, ia memilih untuk pergi ke taman komplek perumahan tempat tinggalnya. Remang-remang tapi pasti, netra nya menangkap siluet tubuh yang selama ini ia rindukan.

"Nora!" Ya, panggilan itu, Nora jelas masih mengingatnya.

Ia memutuskan secara perlahan untuk menoleh ke belakang. Dan yeah, dia kembali. Cinta pertama setelah sang papa pergi meninggalkannya.

"Mas Kara!" Pekiknya berlari untuk menumpahkan segala rasa rindunya.

"Aska, Nora! Bukan Kara! Berapa kali mas harus mengingatkan?"

Mendengar hal itu membuat Nora cemberut penuh kekesalan. Padahal kan dulu-dulu ia tidak pernah mempermasalahkan panggilan tersebut.

"Mas, kenapa baru sekarang?" Tanyanya menerawang jauh ke sana.

"Apa yang baru sekarang?" Entah memang lupa atau sekadar ingin bercanda, tapi itu membuat Nora makin bersedih.

"Ya, kenapa baru sekarang nyamperin Nora!?"  Jelasnya mencubit kesal tangan lawan bicaranya.

Terlihat laki-laki yang enggan dipanggil Kara itu tersenyum tipis ke arah Nora. Tubuhnya yang tinggi tegap berhasil menghalau sinar matahari untuk tubuh Nora yang amat kecil, bahkan bisa dibilang mungil.

"Maaf sayangnya Kara, kan sebelumnya Kara udah bilang kalau sedang banyak kerjaan." Jawabannya mencubit gemas pipi Nora.

Mendengar jawaban itu membuat Nora bergeming menikmati waktu yang berjalan seiring terbenamnya matahari. Tentang siapa Nora sesungguhnya, kini semua itu masih abu-abu.

"Nora, ayo pulang!" Seruan itu membuyarkan lamunan Nora.

"Loh, mas ikut pulang?" Tanyanya menatap wajah teduh tersebut.

"Emang gak boleh?" 

Nora tersenyum canggung, bukannya tidak boleh. Hanya saja terlalu berat untuk mengatakan “iya” setelah mengetahui bahwa esok dirinya akan kembali berpisah.

"Heh, ditanya kok malah diem aja!" Lagi dan lagi, teguran itu berhasil membuyarkan lamunannya.

"B-boleh kok, siapa juga yang mau ngelarang?"

"Masa? Mas tahu loh isi kepalamu."

"Apa coba?"

"Isinya pasti ada otak dan kawan-kawan, mas nggak salah kan," jawabnya tersenyum puas.

Ih, jadi pengen jitak kepalanya

"Mas, ada gak sih yang pengen kesel sama mas?"

"Gak usah tanya mulu, mending cepet-cepet pulang. Laper soalnya,"

Bukannya menjawab pertanyaan yang sudah jelas-jelas ada, malah makin mengalihkan topik. Ya, siapa lagi kalau bukan dia (eh).

Dan dengan penuh keterpaksaan, kini akhirnya Nora membawa laki-laki yang ia panggil dengan sebutan "Mas Kara" itu pulang ke rumah. Bukannya senang, sang empunya tubuh malah makin sedih. Padahal sebelumnya ia merasa euforia yang amat sangat terhadap rumah ini, terhadap tempat di mana ia tumbuh menjadi se—dewasa ini.

Tidak ada basa-basi yang kiranya sudah terlalu basi. Tidak ada pula peluk memeluk yang seringkali dilakukan oleh tokoh dalam serial kartun. Tidak pula tawa renyah yang bisa didengarnya kala semuanya berkumpul lengkap.

"Nora kangen mas," tuturnya mendongakkan kepalanya ke arah langit-langit rumah.

"Kenapa masih kangen? Kan mas udah ada di depan kamu,"

Entah apa yang membuatnya merasa rindu pada sosok yang kini sudah hadir di hadapannya. Seperti ada sebuah rasa yang mungkin merindukan suatu masa. Entahlah, sepertinya rasa itu terlalu rancu untuk dijelaskan.

"Kangen aja, emang ga boleh?"

Belum juga sang lawan bicara menjawab pertanyaan dari Nora, panggilan dari bundanya mengalihkan topik mereka.

"Karaaa!" Seru bunda berlari kecil menuju "Mas Kara"

(author baru sadar kalau panggilan itu lebih mengarah ke maskara semisal penulisannya digabung)

"Aska, bunda El!"

Terlihat Bunda Elda tersenyum menanggapi pernyataan tersebut. Padahal kan tidak ada yang salah dari panggilan "Kara" untuknya.

"Ya, ya, ya, yaaa, Baskara Anggara!" Tegas bunda tersenyum hangat padanya.

"Nah, gitu dong,"

Baskara Anggara, sosok kakak paling tua Nora. Katanya nama mas itu Aska, bukan Kara (takut dikira nama produk santan instan). Tidak banyak orang tahu bahwa Nora Anggara ternyata memiliki kakak laki-laki. Dan kenyataan itu terkadang membuat orang-orang berpendapat bahwa Nora memiliki pawang (hati). Padahal kan aslinya jomlo sampai detik ini.

"Mama sama Fani kemana bun?" Tanyanya mengedarkan pandangan.

"Fani ada di kamarnya, kalau mama belum pulang. Istirahat dulu sana, bunda tahu kamu capek!" Suruh bunda bangkit dari duduknya.

Malam tiba, dan kini mereka tengah melaksanakan makan malam bersama. Masih dengan kehebohan antara Syahra dan Baskara.

"Aska, kapan sampainya?" Tanya mama menatap wajah Baskara.

"Kemarin sore ma,"

Mendengar pernyataan itu, membuat Nora dengan cekatan memukul lengan Baskara.

"Iwh, kok dak ngomong dwri kwmarin," ucapnya dengan mulut penuh nasi.

"Kalo ngomong itu ditelan dulu!" Tegur Tiffani menatap sinis ke arah adiknya.

"Fan, kamu ada masalah ya sama Nora? Kok kayaknya sinis banget," tanya mama menatap heran Tiffani.

Dan yang ditanya hanya bisa menggelengkan kepalanya seolah menyangkal hal itu. Entah karena dia lagi dapet atau apa, tapi rasa emosinya begitu meluap-luap.

Setelah acara makan malam tersebut, kini mereka tengah merebahkan diri di kamar masing-masing. Masih ingat Mas Kara kan!? Dengan langkah yang begitu tenang, ia sedang berjalan dan masuk ke kamar Nora yang terlihat begitu murung sejak kedatangannya.

"Nora!" Panggilnya menatap wajah murung sang adik.

"Nora kangen papa,"

"Kangeeeeeen banget,"

"Kapan ya bisa liat papa senyum lagi?"


























Terima kasih banyak buat yang udah nyempetin baca, jangan lupa vote dan komennya ya. Sampai jumpa di part selanjutnya

Salam Hangat

Lulu

(Our) Meeting?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang