Di balik menara rumah, aku menyaksikan kemurungan gadis berwajah khas Jepang tersebut. Hari masih sangat pagi, namun dia sudah berdiri di balkon depan kantor sambil memegang kaleng soda. Sesekali tangannya mengusap pipi, atau bahunya berguncang seakan tengah menahan sesuatu. Kepala yang berbalut kerudung putih bersih itu menunduk.
Aku tak kuat melihatnya.
Kuulangi lagi menghafal surah Maryam dengan Al Qur'an yang berada di tangan. Mataku masih meliriknya yang kali ini menangkupkan wajah. Aku mengenal gadis itu. Satu tahun belakangan, Umi menjadi pembimbingnya di jam mengaji. Dia berbakat, meski di sisi lain dia juga terkenal dengan sikap yang galak, brutal, dan keras kepala. Bahkan Aira pun tak bisa membimbingnya hingga hari terakhir wanita itu tinggal disini.
"Lihatin apa, Le?"
Aku terlonjak, membuat Al Qur'an-ku hampir saja terjun bebas ke halaman. Kugeser tubuh, memberi ruang untuk Umi yang kini ikut memandangi sang gadis.
"Alina Stefan. Tadi pagi dia datang dengan muka lelah lagi."
Kami memang biasa berbincang seperti ini. Kala Putri dan keluargaku yang lain tengah menunggu sarapan siap sambil menonton berita pagi, aku akan melanjutkan hafalanku di puncak menara sambil mengamati keadaan asrama. Terkadang aku melihat Atan yang baru tiba atau tengah mengelap kaca mading, terkadang aku melihat santri putra yang mondar-mandir menuju kamar sambil membawa Al Qur'an di satu tangan dan piring beruap di tangan lain. Tapi dua minggu terakhir, aku selalu menemukan Alina yang berdiri di sana.
"Tahun ajaran baru jalan dua minggu, Umi. Dan dia udah dua kali bilang pengen terjun dari rooftop. Apa nasihat Umi belakangan ini belum bisa bikin hatinya melunak?" tanyaku sambil menarik tali pembatas dan menutup Al Qur'an.
"Kamu tahu keadaannya kan-" Ucapan Umi terputus saat aku menyela.
"Fauzan tahu, Umi. Tapi apa Umi gak bisa menolong dia?"
Seperti tahu kalau dirinya tengah dibicarakan, mendadak Alina menoleh. Sorot matanya terlihat nyalang meski kami terhalang jarak hampir 400 meter. Kukuatkan hati, balas menatapnya yang terus mengamati kami.
"Coba kamu tanya," usul Umi.
Aku mendesah, lantas menjawab, "Dia galak, Umi."
"Menyerah sebelum berperang itu ciri-ciri orang gagal, Le. Ayo, Umi yakin kamu bisa membantu dia," balas Umi penuh semangat.
Di ujung sana, Alina masih menatap kami. Entah bagaimana, aku bisa merasakan luka saat mataku tak sengaja beradu dengan mata hijaunya.
**
"Minum soda saat perut kosong itu dilarang."
"Apa hak Bapak mengatur apa yang harus saya makan dan minum?"
Sambil menyeruput kopi, aku mengamati Alina yang berdiri di anak tangga menuju kantin yang terletak di rooftop. Tangan mungilnya memegang kaleng soda berwarna mencolok, mungkin diambilnya dari vending machine yang terletak di belokan tangga. Rahangnya mengatup, mata sipitnya menyiratkan amarah yang amat sangat.
Atan Rahardian, si iseng yang pagi ini berlagak menjadi ahli kesehatan menceletuk, "Karena saya perhatian, makanya saya melarang kamu. Saya tahu persis kamu udah gak menyentuh makanan dapur selama dua minggu."
"Saya gak akan mati hanya karena gak makan dua minggu, Pak," balas Alina dingin.
Atan terdiam. Indra yang duduk di depanku menyenggol kakiku seolah memberi isyarat; 'Kayaknya mau ada baku hantam nih.'
Aku tidak menghiraukannya.
"Lagipula, mungkin ini lebih baik. Biar saya cepet mati dan gak nyusahin semua orang lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...