22. Alina: Mendapat Sahabat Baru

30 1 9
                                    

Membicarakan tikus got itu memang selalu membuatku emosi.

Lagian kenapa sih Pak Atan harus tanya-tanya tentang anak sial itu? Jangankan mengingat mereka, mendengar berita pembullyan anak di bawah umur saja sudah membangkitkan kemarahan dalam diriku. Yang terbayang saat itu juga adalah ekspresi keji mereka selama bertahun-tahun, juga keinginan kuat untuk menyambar pisau daging, golok, atau apa saja dan memenggal kepala mereka.

Namun, ucapan Gus Fauzan barusan membuatku serasa ditampar. Mau tak mau, aku jadi sadar kalau selama ini aku menggenggam erat kenangan tersebut.

“Saya gak bisa, Pak. Yang mereka lakuin itu udah kelewatan.” Suaraku bergetar oleh kebencian dan kesedihan saat mengatakannya. “Kalau saya terlahir bukan sebagai Alina Stefan yang nyolot dan gak mau mengalah, apa yang akan terjadi? Saya bisa mati saat itu.”

“Tapi buktinya, saat ini kamu hidup dan bisa ngumpul sama kami.” Gus Fauzan membalas dengan nada bijak yang tidak berubah sama sekali. “Ikhlas ya, Nduk?”

“Saya belum bisa, Gus,” balasku lirih.

“Kami bakalan bantu kamu.”

Sudut mataku melihat Pak Atan yang menatap Gus Fauzan dengan sorot mata tak senang, membuat Gus Fauzan buru-buru mengoreksi, “Saya yang bakal bantu kamu, itu juga kalau kamu setuju.”

“Saya butuh waktu, Gus.”

“Alina....”

“Maaf atas kelancangan saya, Gus Fauzan. Tapi saya gak bisa melepas semuanya begitu aja. Saya pikir udah cukup berada di deket mereka selama enam tahun, tapi nyatanya sampai hari ini mereka masih terus ngejar-ngejar saya. Ngikutin kemanapun saya pergi, nyari-nyari kesempatan buat menjatuhkan saya. Saya gak akan bisa lupa kalau mereka masih bertingkah kayak begitu,” ucapku pelan.

“Makanya itu, izinin saya bantu kamu. Apa kamu gak mau jiwamu tenang? Apa kamu gak mau tidurmu tenang?” tanya Gus Fauzan.

Aku mengangguk.

Tangan Gus Fauzan mendadak terjulur, membuatku spontan mundur dan melipat lengan. Namun, beliau ternyata hanya mengambil kotak tisu dan meletakkannya di hadapanku.

“Kamu kemarin bikin semua orang ketakutan. Temen-temenmu, Mbak Aira, guru-guru, bahkan saya. Kami kira kamu bakalan mati,” lanjut Gus Fauzan lagi.

Sebetulnya aku lebih suka mati, tapi aku tidak mau membuat beliau sedih.

“Kamu harus janji sama saya. Mulai hari ini, detik ini, kamu gak boleh lagi mengingat-ingat semuanya. Apa yang mereka lakuin kemarin, hinaan mereka, cacian gurumu, lupain semuanya. Mulai hidup baru, dimana kamu harus mulai fokus dengan masa depanmu. Saya bakalan bantu kamu.”

Aku menelan saliva.

“Kenapa Njenengan mau repot-repot, Gus? Saya gak mau kalau sampai mengganggu waktunya Njenengan,” ucapku pelan.

Gus Fauzan tersenyum. “Saya sama sekali gak repot, Alina. Anggap aja apa ya ... saya ini psikolog kamu misalnya. Yang bakalan bantuin kamu melepas semua luka supaya kamu bisa mengikhlaskan semuanya.”

Mataku memanas. Aku memang sejak dulu ingin sekali mengobrol dengan psikolog, tapi tidak punya biaya yang cukup. Kalian kan tahu semahal apa biaya untuk satu kali konsultasi. Jangankan buat ke psikolog, untuk membeli iPod saja aku harus menabung sekian lama.

“Lin?” Sekali lagi, Gus Fauzan tersenyum.

Bagaimana aku harus menjawabnya?

“Kalau saya jadi kamu, saya bakalan terima. Lumayan dapat psikolog gratis,” celetuk Pak Indra.

Untuk pertama kalinya, aku tertawa. Bahkan Gus Fauzan ikut tersenyum.

“Kamu kan tahu biaya konsultasi buat satu sesi doang. Kalau kamu mau sama psikolog yang kualitasnya bagus, biayanya pasti lebih mahal. Bisa setengah dari harga asli iPad ini,” Pak Indra mengacungkan iPad-nya yang menyala. “Kalau sama Gus Fauzan, kamu cukup datang dan cerita semuanya. Gak perlu biaya apa-apa. Bahkan kamu gak perlu bayar biaya obat.”

Aku tersenyum, lalu melirik Gus Fauzan.

“Gimana, Lin?” Untuk yang kedua kalinya, beliau bertanya.

Perlahan aku mengangguk.

***

“Kamu udah makan siang?”

Aku menggeleng. Dari sudut mata, bisa kulihat Gus Fauzan mendelik. Namun, beliau tidak berkata apa-apa dan tetap bersandar di kusen pintu.

“Liburan dua hari lagi kamu pulang?”

Kali ini aku mendongak, tidak paham dengan pertanyaannya.

"Empat hari lagi kan Idul Adha. Santri boleh pulang selama empat hari.”

Aku menggeleng lagi. “Saya lebih suka disini, Gus.”

Selama sesaat, kami hanya diam sambil sesekali melirik.

“Ehm.” Gus Fauzan berdeham. “Gimana kalau panggilan kamu terhadap saya diganti?”

Satu alisku terangkat, bingung dengan maksudnya.

“Kita teman kan? Tapi, kita terlalu formal. Gimana kalau pas ngobrol, dibikin lebih santai aja?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada hati-hati.

Aku yakin ekspresiku terlihat bodoh sekarang. Jujur, aku tidak mengerti apa yang beliau maksud.

“Kamu udah kenal saya sejak sebelum resmi masuk SMP. Ini fase baru dalam pertemanan. Kamu mau jadi sahabat saya?” tanya Gus Fauzan untuk yang ketiga kalinya.

Aku mengangguk cepat.

“Ngangguknya cepet banget. Seneng ya?” tanya Gus Fauzan geli.

Aku menunduk. Rasanya aku ingin lari ke dinding terdekat dan membenturkan kepalaku sekarang juga.

“Eh,” Wajahku memanas saat teringat sesuatu. “Perempuan sama laki-laki yang gak ada ikatan kan gak boleh berduaan, Gus.”

“Siapa yang bilang berduaan? Memangnya kalau kita ngobrol selama ini, kita berduaan aja? Ada banyak orang yang mondar-mandir di sekeliling kita. Contohnya sekarang Mbak Mina,” balas Gus Fauzan sambil menunjuk Mbak-mbak ndalem yang tengah menyapu halaman samping. “Yang mau saya minta dari kamu, kamu gak usah panggil saya Gus lagi.”

“Terus?”

“Mas boleh. Kakak juga boleh. Anggap saya ini kakakmu.”

“Gus gak malu nganggep saya adek?” tanyaku serius.

“Kenapa harus malu? Kan kamu pakai baju.”

Aku yakin wajahku sekarang memerah.

“Ma-masalahnya kan Gus Fauzan tahu saya ini orangnya gimana....”

“Bagi saya, kamu sama warasnya seperti orang lain.”

“Alhamdulillah kalau begitu.” Tanpa bisa dicegah, kesinisan muncul dalam nada bicaraku.

Gus Fauzan tertawa kecil.

“Saya gak perlu persetujuan kamu. Mulai hari ini, kamu panggil saya ‘Kakak’. Gak ada penolakan.”

Aku menggeram saat beliau malah pergi dengan tampang penuh kemenangan. Meski begitu, di dalam hati sebetulnya aku ingin melonjak-lonjak girang. Apa ini artinya perasaanku berbalas?

Alah, jangan halu! Bisa jadi ini karena Gus Fauzan kasihan denganku yang hanya punya tiga orang teman.

“Oiya.” Mendadak Gus Fauzan kembali hingga membuatku nyaris terlonjak. “Sekedar info, karena kamu emosian, saya gak peduli kalau kamu ngamuk karena diperhatiin ya. Kamu udah makan atau belum, istirahatnya cukup atau enggak, saya akan terus tanya. Itu aja sih.”

Kuhembuskan napas panjang, lalu meluruskan posisi saat Bu Nyai Shofi tiba. Beliau tersenyum kecil memandangi interaksi kami, tapi tidak berkata apa-apa dan duduk di depanku.

“Sampai mana kemarin, Nduk?”

Selama lima belas menit ke depan, Bu Nyai Shofi sibuk menyimak hafalan Shorof yang kusetorkan di sekolah kemarin. Senyum tidak pernah hilang dari bibir beliau, tapi bukan itu yang kupikirkan. Aku ingin tahu apakah Bu Nyai Shofi marah atau tidak dengan interaksi antara aku dan Gus Fauzan tadi.

“Coba yang halaman selanjutnya disalin ke buku, Nduk.”

Aku mengangguk, lalu mulai mengerjakan tugas. Aku tidak tahu apa yang beliau lakukan, jadi diam-diam aku melirik dari sudut mata. Buru-buru kembali kulanjutkan tugas karena beliau ternyata malah sibuk memperhatikanku.

“Gimana dengan pilihan pesantren yang saya tawarin, Nduk?” tanya Bu Nyai Shofi mendadak.

Aku mendongak, menjawab pelan, “Saya bingung mau pilih yang mana, Bu.”

“Menurutmu baik yang mana diantara empat pilihan itu?”

“Semuanya baik. Saya yang gak bisa menentukan.”

Bu Nyai Shofi diam.

“Coba pilihannya kita bagi lagi. Antara Kediri dan Tuban, kamu lebih pilih yang mana?”

Kuletakkan pulpen, lalu melipat kedua lengan dan berkata sopan, “Dua-duanya bagus, Bu.”

Bu Nyai Shofi tertawa.

“Tapi di Tuban, pesantrennya lebih tua. Udah terjamin keilmuannya. Bukan berarti saya bilang pesantren di Kediri gak terjamin, tapi kalau disuruh milih, saya bakalan milih di Tuban yang ilmunya lebih dalam.”

Bu Nyai Shofi mengangguk.

“Jadi?”

“Saya milih yang di Tuban aja, Bu.”

💛

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang