Meski ingin, aku tidak sanggup memanggil seseorang untuk menemaniku di sini. Tubuhku menggigil, namun selimut di kamar tamu ini begitu tipis hingga aku tetap merasa kedinginan.
"Sa-kit," desisku lirih. Kugigit bibir agar tidak bergemeletukan, sementara mataku terpejam rapat-rapat. Agaknya aku demam, karena suhu udara yang biasanya hangat mendadak jadi begitu dingin bagiku.
"Lin."
Terdengar suara familier disusul suara berdebam. Sebuah tangan sejuk menyentuh dahi dan pipiku, membuatku ingin menangis karena lega.
"Kamu panas banget. Demam ya?" Lalu tanpa menunggu jawaban, dia melanjutkan, "Sebentar, biar Mbak ambilin kompres sama makan siang. Kamu pasti belum makan kan? Kebiasaan banget sih."
Sepeninggal sosok tersebut, air mataku menetes. Kenapa harus Mbak Aira yang perhatian seperti ini? Kenapa Mama tidak bisa? Kenapa Mama tidak pernah berhenti menyakitiku, padahal aku sudah belajar untuk tidak menyakitinya lagi?
Tak lama, Mbak Aira kembali dengan piring berisi makanan dan sebungkus kompres instan. Ditempelkannya benda tersebut ke dahiku, lalu mengeluarkan beberapa bungkus obat dari saku dan meletakkannya di samping piring.
"Sini makan dulu."
Aku menggeleng. Aku tidak mau. Yang mau kulakukan saat ini hanya pergi sejauh-jauhnya agar semua orang tidak terganggu lagi dengan kehadiranku.
"Alina Stefan," panggil Mbak Aira. Dia beringsut dan duduk di pinggir ranjang-kedua tangannya terjalin sebelum berkata, "Mbak tahu apa penyebab kamu jadi seperti ini. Mbak juga udah dengar tentang pembicaraan kamu sama Mas Fauzan barusan. Kamu...."
Mbak Aira tidak melanjutkan ucapannya dan malah balas menatapku.
"Kamu tahu apa yang bisa kamu lakukan, Nduk. Kamu udah dewasa."
Aku menggeleng. Aku tidak mau. Gus Fauzan bukan halalku, dan aku tidak mau menjerumuskan kami berdua dalam kemaksiatan. Biarlah seperti ini hingga Allah menunjukkan bagaimana jalan kami ke depannya.
"Kamu butuh seseorang, Lin."
"Enggak, Mbak. Aku gak pantas buat beliau. Lagian aku masih sekolah."
Mbak Aira diam.
"Minimal ada seseorang yang bisa mengerti kamu, Lin. Karena Julia jelas gak akan bisa."
Aku teringat dengan Julia. Benar, dia tidak akan mengerti bagaimana kehidupanku. Hanya Mbak Aira yang paham. Dan juga Gus Fauzan.
Duh, bisa tidak sih pikiran liarku ini dihilangkan? Atau jangan-jangan aku step dan semua pembicaraan ini hanyalah halusinasi?
"Aku mau tidur bentar."
Kupejamkan mata dan kembali melihat bayang-bayang Gus Fauzan menari dalam benakku. Suaranya masih terngiang di benakku-sarat dengan luka seolah dia juga ikut sakit atas semua tingkahku dua minggu terakhir.
Apa aku sudah menyakitinya?
Tak tahan, aku kembali menangis. Tubuhku terasa semakin panas dan ngilu, namun aku tidak mau mengatakannya pada Mbak Aira. Bisa-bisa dia mencekokiku dengan obat menyebalkan itu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi beberapa saat kemudian, namun saat aku terbangun, cahaya lampu terlihat begitu silau hingga membuatku tidak bisa membuka mata.
"Pulang," ucapku dengan suara teredam. "Ini udah jam berapa? Pak Indra juga butuh diurusin."
Terdengar suara gemerisik di sebelahku, lalu suara kaki yang melangkah menjauh dari kamar.
Sepeninggalnya, aku bangkit dan berjalan pelan menuju kamar mandi. Aku harus masuk les sore ini. Sekarang ada kelasnya Gus Fauzan, dan karena aku masih ingin lulus dengan nilai matematika sempurna agar ijazahku nanti tidak malu-maluin untuk dimasukkan ke Universitas Bucharest, aku harus bekerja keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...