20. Alina: Pilihan Dari Bu Nyai Shofi

40 11 48
                                    

Meski sudah dilarang Mbak Ziya, aku tetap masuk pelajaran privat sore itu. Keputusan yang sangat tolol, karena baru lima menit aku diminta duduk oleh khadimah ndalem, Gus Fauzan tiba dan mulai mencecarku.

Beliau tidak tahu ketika aku mengatakan kalau mereka hendak memukuli Mbak Aira, aku ingin melempar semua barang yang ada di ruangan ini. Kedua tanganku bergetar hebat, namun aku tidak mau membuat beliau ketakutan. Jadi yang bisa kulakukan hanyalah menunduk dan berdoa supaya Bu Nyai Shofi segera tiba.

"Alin?"

Aku mendongak, lalu meletakkan pensil dan balas bertanya, "Ya, Bu?"

Bukannya menjawab, Bu Nyai Shofi malah menatapku lama. Aku risih, tapi ... ah, bingung menjelaskannya. Akhirnya aku hanya bisa menunduk sambil menggurat ukiran meja dengan ujung jari.

"Kamu baik-baik aja?"

"Baik, Bu. Terimakasih."

Terdengar hembusan napas. Aku tidak tahu apa yang ingin beliau katakan, tapi perasaanku tidak enak.

"Saya udah tahu soal perkelahian di halaman belakang tadi. Nanti saya minta pengurus supaya mengawasi santri yang dijenguk oleh orang selain keluarganya."

Aku mengangguk. "Nggih, Bu."

Terdengar bunyi gemerisik. Aku mendongak, kaget mendapati Bu Nyai Shofi sudah duduk di hadapanku.

DI LANTAI! MEMANGNYA SOFANYA SUDAH TIDAK EMPUK LAGI?!

"Sakit ya, Nduk?" tanya Bu Nyai Shofi, kali ini dengan nada hati-hati.

Mataku memanas.

"Alin?"

"Enggak, Bu. Sudah biasa, jadi gak sakit lagi." Kupaksakan diri untuk tersenyum. Sudut mataku menangkap seseorang yang baru keluar dari pintu samping. Suara langkah itu berhenti sejenak sebelum akhirnya terdengar suara gerbang dibuka.

"Sini, Nduk."

Dengan sungkan, aku mendekat dan duduk di hadapan Bu Nyai Shofi-tanpa terhalang meja panjang. Aku menahan diri untuk tidak menjerit saat beliau menyentuh lebam akibat hantaman tongkat tadi.

"Disini biru." Bu Nyai Shofi berkata sambil menyentuh tulang pipiku. "Di pelipismu juga ada beberapa bekas luka, kayak cakaran gitu."

Aku tidak menjawab.

"Separah apa, Nduk?" tanya beliau.

"Saya gak bisa menjabarkannya, Bu."

Aku kembali ke posisi semula dan lanjut menulis. Baru hendak meregangkan tubuh, tulang punggungku langsung beradu dengan bagian sofa yang keras dan membuatku menahan napas karena kaget.

"Oh iya. Soal pesantren untuk mondok kamu nanti, saya sudah punya beberapa pilihan. Dua di Kediri, satu di Tuban, dan satu lagi di Rembang. Kamu pikir-pikir dulu mau milih yang mana ya, Nduk. Nanti kalau sudah cocok, kasih tahu saya biar saya bicarakan sama orangtuamu." Bu Nyai Shofi berkata sambil menyerahkan selembar kertas yang dilipat dua. Saat aku membukanya, disitu tertulis empat nama pesantren. Dua diantaranya tertua di Jawa Timur.

Mendadak aku teringat sesuatu, dan sebelum aku lupa, buru-buru aku mengutarakannya.

"Ka-kalau boleh saya tahu, kenapa Ibu baik banget sama saya? Kenapa Ibu sampai harus turun tangan ngurusin kelanjutan sekolah saya?"

Bu Nyai Shofi tidak menjawab. Saat aku melirik, matanya menatap lurus ke arahku.

Melihat beliau tidak menjawab juga, kuputuskan untuk jujur sekalian.

"Saya pengen kuliah di Rumania itu bukan hanya karena suka dengan musiknya, Bu. Saya pengen menjauh dari rumah, menjauh dari keluarga toxic yang membuat saya serasa berada di neraka. Ibu boleh anggap saya durhaka, tapi memang begitu kenyataannya. Saya gak mau kuliah disini supaya gak terus-terusan pulang ke rumah, saya gak mau tinggal berdampingan dengan keluarga karena masih pengen waras dan bahagia, bukannya berakhir sebagai pesakitan di rumah sakit jiwa. Kalau saya tinggal di Indonesia dua tahun lagi, saya gak berani bayangin apa yang akan terjadi. Apalagi dengan rencana Ibu yang pengen saya mondok di Jawa Timur. Saya takut mikirin biayanya. Tabungan saya udah habis. Dan gimana dengan tanggapan orangtua saya? Sekalipun Ibu bilang mau ngobrolin ini sama mereka, itu gak menjamin Ibu saya bakalan baik-baik aja begitu Njenengan gak ada lagi di dekat kami."

Bu Nyai Shofi tetap tersenyum. Ruang tamu itu senyap-hanya terdengar suara napasku yang ngos-ngosan akibat tidak berhenti bicara.

"Kamu cuma harus percaya sama saya, Nduk. Kamu harus percaya kalau kamu bisa selamat dari keluargamu. Kalau kamu gak percaya, gimana caranya kamu bisa lepas dari mereka?"

***

"Sebetulnya kamu pengen lepas dari mereka atau enggak?"

"Pengen. Pengen banget. Tapi biayanya yang enggak ada," balasku datar. Kuraih gelas es teh dan menusukkan sedotan, lalu menyedot isinya hingga tersisa setengah.

Putri menatap Julia, lalu mengalihkan pandangan kembali padaku.

"Biaya itu bisa kita pikir belakangan...." Ucapan Putri terhenti saat aku menatapnya sinis.

"Kalau pikir belakangan, kamu pikir aku mau makan dan minum pake apa? Rumput sama air kran?" tanyaku dingin.

Putri tidak menjawab. Kusandarkan punggung ke dinding dan memandang gedung SMA di seberang. Sekejap kemudian, aku mengernyit bingung. Apa Gus Fauzan malam ini lembur? Kenapa lampu kantor SMA menyala?

Alah, padahal bisa saja orang lain yang berada di sana. Kenapa pikiranku selalu tertuju pada beliau sih?

"Ada pesantren yang gak memungut biaya berjuta-juta buat masuknya. Setahuku sih pesantren tahfidz yang gak ada program sekolahnya yang begitu."

"Apa Bu Nyai Shofi niatnya mau masukin Alina di pesantren semacam itu?" tanya Julia penasaran.

Putri mengedikkan bahu. "Mungkin. Di Jawa Timur kan ada beberapa pesantren yang gak ada sekolah umumnya."

"Lagian kenapa harus disana sih? Kenapa gak disini aja?" protesku.

"Karena mungkin ini cara Umi buat bantuin kamu lepas dari keluargamu, Alina."

Kuhembuskan napas panjang.

"Menghadapi mereka gak akan gampang." Aku berkata. "Terutama Mama. Beliau selalu bilang kalau aku cerita tentang masalah di rumah ke orang di luar, misalnya kamu, itu tandanya aku nyebar aib. Padahal aku cerita juga gak ke sembarang orang. Kalau kayak gini, gimana caranya buat menyuarakan keberatanku atas sikap mereka? Aku gak boleh ngomong, gak boleh protes, gak boleh marah, bahkan membela diri pun gak boleh. Ngomong sama Papa pun gak boleh juga. Kalau aku ngomong, atau cerita tentang masalah di rumah, aku dibilang menambah beban, gak mau mengalah sama saudara, atau bertingkah kayak anak-anak. Terus aku harus gimana?"

Kukepalkan tangan kuat-kuat. Saat ini, tidak ada yang lebih kuinginkan daripada menangis sekeras-kerasnya. Tapi aku malu.

"Kalau Bu Nyai Shofi cerita tentang rencananya ke orangtuaku, pasti Mama bakalan marah. Bilang kalau aku suka nyebarin aib orangtua. Bilang kalau semua yang terjadi selama ini salahku. Aku yang gak mau mengalah, gak mau diajarin, gak bisa dinasihati. Mama nyuruh aku ngendaliin emosi, padahal beliau sendiri juga yang mancing emosiku keluar. Aku diam tetep juga dipancing buat ngomong. Aku harus gimana lagi?" tanyaku lelah.

Julia dan Putri tetap diam mendengarkan.

"Kalau bunuh diri itu gak dosa, aku lebih suka mati aja. Seenggaknya gak ada yang terbebani karena aku masih hidup," lanjutku lirih.

Selama beberapa menit, kami tidak bersuara.

"Sekarang lebih baik kamu fokus sama pelajaran dan sekolahmu, Lin." Kudengar Putri berkata pelan. "Banyakin ikhtiar supaya kamu betul-betul bisa lepas dari keluargamu. Kami juga bakalan bantu doa. Sejujurnya aku juga kasihan lihat kamu yang selalu sedih sejak Mbak Aira gak tinggal disini lagi. Kamu butuh orangtua, dan justru Mbak Aira yang bisa berperan sebagai ibu buat kamu. Sementara ibu kandungmu sendiri...."

Putri tidak melanjutkan ucapannya, tapi aku tahu. Aku mengerti kata yang tidak terucap itu, dan memutuskan untuk diam sambil menyeka air mata.

🌟

Hai, guys. Maaf ya lama gak update. Agak sibuk belakangan ini. Nanti² diusahakan update lagi.

Jangan lupa follow Instagram-ku juga ya.

printesamurgului_

Terimakasih 🧡

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang