6. Alina: Terbayang-bayang Gus Fauzan

65 14 47
                                    

Aku tidak tahu bagaimana Bu Shofiyah bisa tahu semua yang kualami belakangan ini.

Di bawah cahaya lampu balkon yang remang-remang, kutatap lagi kulit tanganku yang penuh bekas luka. Sebagian besar karena kugores dengan cutter, tentu saja. Dan kepalaku masih pening karena kujeduk-jedukkan ke dinding tadi sore.

Mungkin akan ada yang bertanya kenapa aku begitu bodoh dan malah memukul kepala sendiri. Kalau aku memukul kepala orang lain, sikapku akan disamakan dengan setan, atau lebih parah lagi iblis. Kalau aku hanya diam, semua kenangan menyebalkan itu tidak berhenti menari di kepalaku. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk mengeluarkan semua emosi negatif yang kurasakan, karena aku tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukannya.

"Kenapa kamu suka sekali menyendiri?"

Aku mendongak. Aisyah Putriani, adik Gus Fauzan, berdiri menjulang di hadapanku. Kepalanya menunduk, sebelum akhirnya duduk dan menyilangkan kaki.

"Aku gak suka duduk di tengah keramaian. Kepalaku jadi sakit." Aku menjawab pendek.

Putri tetap menatapku tanpa suara. Aku jengah, namun juga mau tahu apa yang dia inginkan.

"Tadi pagi ngobrolin apa sama Mas Fauzan?" tanyanya penasaran.

"Dia bilang kalau dia sayang sama aku," balasku sinis. "Atau kamu mau tahu yang lainnya? Misalnya aku yang menolak disayang gitu?"

Putri tidak menjawab.

"Tahun lalu juga ada yang bilang begini. Tapi sehabis itu, dia pergi dan cari pacar baru," lanjutku, masih dengan nada sinis.

"Itu tandanya dia gak baik buat kamu."

Aku mendecih. Semua laki-laki itu sama saja.

"Kalau memang Mas Fauzan serius, pendapatmu gimana?" tanya Putri dengan nada menantang.

"Tanggapanku?" tanyaku cuek. "Aku bakalan pegang dahinya dan nanya apa demamnya udah terlalu tinggi sampai menghalu yang enggak-enggak."

Putri mendesah, namun aku tidak peduli. Aku tidak mau lagi mendengar semua tentang Gus Fauzan. Bahkan mendengar namanya saja sudah membuatku amat sangat depresi.

"Lin, mungkin kamu bakalan bilang aku berlebihan atau bahkan gila. Tapi coba pertimbangin lagi ucapan Mas Fauzan tadi pagi. Dia gak mungkin bilang kayak gitu kalau gak serius."

"Bisa gak sih gak bahas itu-itu terus? Gus Fauzan terus?" tanyaku ketus. "Kamu pikir aku juga gak sakit hati karena menolak disayangi secara tulus? Aku ngelakuin itu gak secara asal-asalan. Ada banyak pertimbangan di dalamnya, salah satunya kepantasanku buat ada di samping beliau suatu saat nanti. Gus Fauzan berhak dapat perempuan yang lebih baik, bukan kayak aku yang sakit-sakitan, kejiwaan gak stabil, dan dimusuhi oleh keluarga sendiri."

Muak dengan segala omong kosong Putri tentang Gus Fauzan, aku menepi ke sudut balkon dan mengeluarkan iPod dari saku. Benda ini kuselundupkan saat pulang kemarin karena aku membutuhkan sesuatu selain desau angin jika berdiam diri di atas sini.

Meski mataku menatap ke gedung SMA di seberang yang gelap, benakku justru terpencar-pencar ke tempat lain. Salah satunya ke pelataran kantor SMA tadi pagi, dimana aku dan Gus Fauzan berhadapan sambil saling menyakiti. Hatiku berdenyut nyeri, merasa berdosa karena sudah melukai beliau yang tidak tahu apa-apa.

Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa menerima apa pun yang akan ditawarkan Gus Fauzan padaku. Aku tidak bisa menerima cintanya, tidak bisa menerima kebaikannya, maupun penghargaan yang bisa kurasakan dari setiap gerak-gerik dan tatapannya. Aku tidak pantas menerima semuanya setelah melakukan begitu banyak dosa di masa lalu.

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang