“Dia bilang begitu?” tanyaku syok.
Julia mengangguk. Astaga, apa yang ada di pikiran Revan sampai dia bertanya hal seperti itu pada Kak Fauzan? Bukannya aku tidak suka jawabannya, tapi ... jawaban itu terlalu manis. Aku bahkan bisa merasakan kakiku goyah dan siap meleleh saat ini juga.
“Ciee, baper.”
“Shut up your mouth!” hardikku ketus. Kumajukan bangku, lalu membuka YouTube dan memilih channel The Royal Family. Sambil menunggu, aku menatap Putri yang juga membuka Netflix. Ah, jadi ingin nonton Chilling Adventure of Sabrina, tapi aku tidak punya akses premium.
“Masih ragu sama keseriusannya Mas Fauzan?” tanya Putri tanpa menoleh.
“Masalahnya gini, Mbak,” sahutku dengan nada mengajak perang. “Dia itu penerusnya Kyai Ilyas. Dia harus punya istri yang minimal setara dalam hal agama dan kasta, dan aku gak punya kedua hal itu. Kalaupun aku belajar bertahun-tahun di pesantren-pesantren tua, lalu kuliah ke Maroko, Tarim, atau Mesir, gak menjamin aku bakalan bisa melampaui Ning-ning yang udah sempurna sejak lahir.”
“Tapi kamu udah denger kata Umiku tadi sore. Ini rencananya, bahkan Umi juga bilang kalau ternyata selama ini beliau doain kamu diam-diam supaya gak tergoda pacaran kayak anak-anak lainnya. Orangtua mana lagi yang sesayang itu sama anaknya, mengingat Tante Salsa tega nyakitin kamu luar-dalam?” tanya Putri sadis.
Aku tidak bisa menjawab.
“Ilmu bisa dicari, Lin. Bahkan setelah menikah. Atau kamu betulan lebih suka sama Gabrielle?” tanya Leha.
“Lebih baik mati daripada nikah sama orang kayak dia.” Aku melotot saat mengatakan kalimat itu.
“Nah, kamu sendiri tahu seberapa cacatnya orang satu itu. Terima aja lamaran gak resminya Bu Nyai Shofi, lalu turuti keinginan beliau yang pengen kamu mondok dan kuliah. Sisi baiknya, bisa jadi Bu Nyai Shofi berubah pikiran dan nikahin kamu di umur sembilan belas, lalu kamu ditemenin Gus Fauzan kuliah di Maroko.” Julia menyahut.
Aku tertawa.
“Halunya dikondisikan, Mbak.”
“Ini gak halu! Memangnya kamu gak mau ditemenin Mas Fauzan ke Afrika? Ada yang bantuin belajar tiap malam, ada yang nyium dahimu tiap habis shalat, ada yang bisa kamu ajak berbagi setiap dapat nilai bagus. Selama ini kamu cuma ngasih tahu nilai-nilaimu ke Mbak Aira karena ibumu gak peduli kan?” tanya Putri tanpa belas kasihan.
Sialan!
“Memangnya kamu gak mau jalan-jalan naik unta di gurun sama beliau?” goda Leha.
“Kelamaan kalo naik unta. Naik VW aja sekalian,” sahut Tara dengan nada geli.
"Kalo kehabisan bensin, di gurun gak ada pom bensin."
Tara dan Leha mulai berdebat soal jalan-jalan di gurun, mengabaikanku yang sejak tadi memanggil mereka.
"WOI!"
Kedua gadis itu menoleh.
“Denger omongan kalian, aku jadi kepikiran sesuatu. Asyik kayaknya kalo liburan kuliah bisa keliling gurun sama kekasih,” ucapku demi membayangkan kami berkeliling gurun, lalu berkemah dengan mobil karavan.
Terdengar desisan dan gemerisik di sekelilingku.
“Tuh kan, gara-gara kamu ngomong yang aneh-aneh.” Tara mendesis jengkel.
“Kamu juga,” balas Leha sewot.
Terdengar Putri buru-buru melerai mereka. “Gak apa-apa. Biar dia gak murung terus. Kalau kamu lihat kejadian tadi siang, kamu pasti pengen nangis sampai gak bangun lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...