17. Fauzan: Diintai

22 8 39
                                    

"Kenapa gak sarapan di asrama?"

Alina yang tengah memilih makanan mendongak, lalu menjawab pelan, "Males ngantri, Gus."

Aku terkekeh. Kuraih penjepit makanan dan ikut memindahkan beberapa potong gorengan ke piring.

"Semalam nonton video Rumania itu?"

"Enggak." Alina menjawab dengan nada dipanjang-panjangkan. "Kan Njenengan ngelarang."

"Tapi kelihatannya kamu nonton. Buktinya pagi ini kamu nyanyiin lagu yang belum pernah saya denger," balasku seraya mengedikkan bahu.

"Astaghfirullah, Gus. Tahu lagunya bukan berarti nonton kan? Lagian apa gunanya audio?" tanya Alina sinis.

Aku tertawa lagi. Kuminta Tara, santri yang berjaga pagi ini untuk membuatkan kopi, lalu melirik Alina yang juga memesan minuman yang sama.

"Gak baik kebanyakan minum kopi," tegurku.

"Kalau saya gak boleh, berarti Gus Fauzan juga gak boleh. Mana mau saya gak minum sendirian?" tanya Alina dingin.

Aku mati kutu mendengar jawabannya. Dari sudut mata bisa kulihat Bu Rahma tertawa tanpa suara, sementara Tara malah sudah menghentikan pekerjaannya dan membungkuk dengan bahu berguncang.

"Ta! Buruan! Aku mau lanjutin bacaanku," perintah Alina.

Tara seketika menegakkan tubuh, lalu berdeham dan berbalik ke arah kami. Diberikannya gelas plastik ke Alina dan mug besar padaku. Di sebelahku, Alina tidak meraih gelasnya dan malah melipat tangan di depan dada.

"Kenapa gak diambil?"

"Nunggu Gus Fauzan ngambil duluan. Kalau barengan, nanti tangan kita tabrakan," jawabnya polos.

Tara berbalik dan berjalan menuju meja panjang di dekat dapur. Aku tidak tahu dia melakukan apa, dan tidak mau tahu juga. Buru-buru aku meraih mug kopi sebelum Alina menertawakanku.

"Selamat sarapan, Alina. Nanti jam istirahat jangan lupa makan nasi."

"Tenang, Gus. Nanti saya beli onigiri di Indomaret."

Aku segera kabur sebelum Alina kembali melontarkan celetukan-celetukan random-nya. Aku senang sih kalau dia sudah ceria begini, tapi bukan berarti aku yang harus jadi sasaran serangannya.

Saat aku baru saja duduk, kulihat dia juga baru turun dengan tangan memegang gelas kopi. Dia melirikku namun tidak berkata apa-apa, dan aku harus berterimakasih padanya. Soalnya ada Atan yang sedang membaca berita di iPad, dan telinganya sensitif sekali kalau sudah mendengar tentang kejombloanku.

"Ah, jadi pengen kopi," ucap Atan sambil meletakkan iPad di meja. Didorongnya bangku, lalu berjalan menuju dispenser dan mulai membuat kopi. Dia mengangguk dan menjawab salam dengan suara pelan saat Indra masuk, lalu kembali duduk dan melirik ke luar.

"Sekolah jadi sedikit lebih normal daripada biasanya ya," celetuk Indra.

"Maksudnya?"

Sebagai jawaban, Indra menunjuk ke luar. Di jendela samping, kulihat Alina sibuk bicara dengan beberapa temannya sambil tertawa kecil sebelum kembali ke kelas. Sesaat aku mendengar mereka mengatakan sesuatu seperti lab komputer, membuatku menebak kalau mereka akan nongkrong seperti biasa siang ini.

"Alhamdulillah kalau dia balik ke pengaturan semula," ucap Atan dengan nada bersyukur. "Sekolah jadi agak lain karena dia diam aja."

"Karena gak ada yang nyusahin kamu atau gimana?" tanya Indra geli.

"Karena gak ada yang bisa diajak berantem."

Kami tertawa.

"Dimana-mana guru itu mengayomi muridnya. Tapi Pak Atan malah sebaliknya," sahut Bu Dila yang baru tiba. Kakaknya, Bu Radhiya, duduk di sebelahnya setelah memasukkan tas ke laci meja.

"Dia emang agak-agak lain orangnya, Bu," celetuk Indra.

Kami semua tertawa.

***

Aku baru keluar dari kantor saat melihat Alina yang menunduk menatap di balkon.

"Di kelasmu gak ada guru?" tanyaku penasaran.

"Bu Mira gak masuk katanya, Gus. Tadi dikasih tugas, tapi saya udah selesai ngerjain." Alina menjawab tenang.

Aku ber-ooh, lalu ikut berdiri di sebelahnya. Pandangan Alina kembali tertuju ke bawah entah kemana.

"Kamu lihatin apa?"

Sebagai jawaban, Alina menunjuk sesuatu. Aku sempat kebingungan sebelum Alina mengatakan tentang rombongan di depan studio musik yang terletak tak jauh dari asrama.

"Kamu kenal?"

Alina mengangguk. "Orang-orang yang benci saya sejak kecil dulu, Gus."

Sejak kecil? Mau tak mau firasat buruk menghampiriku.

Seakan tahu apa yang kupikirkan, Alina kembali berkata, "Ketua geng mereka, atau kepala suku mereka-terserah Gus Fauzan mau manggil dia apa-dengki banget sama saya. Dia gak pernah berhenti mukulin saya, menghasut semua orang supaya benci sama saya, dan menghina saya. Entah karena rambut saya, baju-baju saya yang kata temen lain mirip baju 'artis', atau alasan lain yang gak pernah saya tahu. Waktu liburan semester kemarin, mereka ngundang saya buat ikut buka bersama, tapi begitu sampai disana, kepala sukunya malah mengomando semua orang buat menghina dan ngingetin saya sama masa lalu itu."

Aku menahan napas, terlalu terkejut mendengar ceritanya. Masa iya ada orang seperti itu?

"Ada, Gus." Lagi-lagi Alina menjawab, seolah dia tahu apa yang kupikirkan. "Dan gak cuma satu orang. Mereka ada enam atau tujuh orang, dan sikap mereka sama semua. Suka iri, pemarah, merasa paling sempurna, dan sombong. Dari semua orang yang ada di sekolah itu, cuma saya satu-satunya orang yang selalu jadi sasaran kemarahannya."

Aku ternganga. Itu manusia? Atau bukan?

"Dan saya yakin dia sekarang datang buat nyari saya. Karena gak mungkin dia gak nyari kalau matanya gak tertuju ke gedung ini terus."

"Kamu manggil mereka? Atau mancing kemarahan mereka?" desakku.

Kali ini Alina terdiam lebih lama.

"Alina?"

Alina masih diam. Sekarang dia malah mengepalkan kedua tangannya, seolah hendak meremukkan botol minuman yang sejak tadi dipegangnya.

"Alina! Apa kamu mancing kemarahan mereka? Atau kamu ngomong sesuatu yang bikin mereka langsung lari ke sini?" tanyaku serius.

Alina menoleh sedikit dan menggeleng.

"Saya cuma tanya apa yang bikin dia dengki sama saya. Apa hidupnya gak bahagia atau gimana. Tapi saya gak menduga kalau dia bakalan bawa pasukan, Gus," balas Alina dengan nada kaku.

"Lalu, kalau kalian udah ketemu, kamu mau ngapain?" tanyaku penasaran.

"Dengerin apapun yang bakalan dia bilang," jawab Alina tenang.

"Kalau dia mukul kamu?"

"Ya saya balas."

"Gak boleh!" seruku spontan. Sedetik kemudian, aku segera menyesali kecepatan bicaraku. Astaghfirullah!

"Saya bakalan baik-baik aja, Gus," ucap Alina datar.

"Saya gak yakin."

"Gus Fauzan cuma harus percaya sama saya. Itu kan yang Njenengan bilang minggu lalu?" tanya Alina balik. "Saya janji bakalan baik-baik aja. Saya janji bakalan mengendalikan diri."

"Gak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya." Aku menelan saliva, lalu memberanikan diri untuk melanjutkan, "Saya takut kamu kenapa-kenapa di luar, Alin. Gimana saya nyelamatin kamu kalau ada hal buruk yang terjadi?"

"Njenengan doain saya aja ya. Supaya saya bisa pulang ke asrama dengan selamat."

Sesaat aku melihat kedua tangan Alina terangkat. Tangan mungil itu bergetar sejenak, sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam saku. Alina lantas menundukkan kepala dan menggumamkan kalimat pamit hendak kembali ke kelas.

Pandanganku kembali ke bawah. Entah sejak kapan, orang-orang yang dibicarakan Alina sudah mendongak menatap kami. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentang kami, tapi aku yakin hal tersebut pasti tidak menyenangkan.

Semoga mereka tidak bertingkah dan menyulitkan kami berdua.

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang