"Biar aku yang beli. Kamu tunggu disini."
Sambil menatap Atan yang memasuki apotek, aku bersandar pada motor sambil memainkan kunci. Mendadak aku teringat lagi pada Alina yang ekspresinya terlihat tak senang saat melihatku tadi. Kenapa ya dia? Mengapa setelah kembali dari liburan, sikapnya malah berubah? Apa benar senyumnya selangka itu?
Kuubah posisi, lalu menghela napas. Jangankan melihat senyum di bibir mungilnya, selama dua minggu terakhir aku sama sekali tidak mendengar tawanya yang semerdu lonceng lagi. Terakhir kalinya aku mendengar tawa Alina itu beberapa bulan lalu, saat dia sesekali menjahili Indra dan beberapa temannya yang lain. Oh iya, juga saat dia mengintip di jemuran di tengah malam dan meneriakkan sesuatu dalam bahasa Rumania.
Apa iya penyebabnya karena dia dan Aira tak berteman lagi? Atau karena dia bertengkar dengan keluarganya selama liburan? Atau dua-duanya?
"Gak baik kebanyakan bengong."
Aku tersentak. Atan sudah berdiri di hadapanku dengan kantong besar berisi perlengkapan P3K. Dicantolkannya kantong ke pengait di depan, lalu bertanya, "Mukamu kelihatan suram. Apa ada selisih pengeluaran dan pendapatan di laporan pengeluaran bulanan?"
"Enggak. Cuma mikir kayak apa orangtuanya Alina sampai dia stres berat dan jadi hobi nyiksa diri gitu," ucapku seraya mengedikkan bahu.
Atan terdiam. Dilipatnya lengan dan kembali bertanya, "Bolehkah aku nebak kalo semua itu berasal dari kesalahan Alina sendiri?"
"Ah." Aku melirik Atan, tersinggung dengan pertanyaannya barusan. "Memang dosa sebesar apa yang bikin sikapnya harus disamain dengan setan?"
"Kalau dari sikapnya, mungkin mukulin anak orang?"
Aku menghela napas lelah. "Gak ada orangtua di dunia ini yang tega nyamain anaknya sama setan, Atan. Bahkan anak kurang ajar yang kadang nyolong duit orangtuanya, bolos sekali-sekali, dan nyolong buah di kebun tetangga gak sampe disamain sama setan. Paling digebuk hanger doang."
Atan tidak menjawab. Otakku sendiri sibuk menerka tentang apa sebenarnya masalah Alina hingga dia bisa menjadi seperti itu.
"Dia pernah cerita ke aku. Katanya tabungannya bertahun-tahun dihabisin begitu aja."
"Kita memang harus membantu atau peka sama kesulitan orangtua kan? Terus apa salahnya?" tanyaku bingung.
Atan menghela napas, lalu menjawab, "Dia emang bantuin, tapi ketika dia pengen sesuatu, atau keluarganya yang lagi butuh sesuatu, misalkan dana buat sekolah adeknya, dia yang disalahin. Yang beginilah, begitulah, pokoknya makian yang gak enak didenger keluar semua."
"Umiku gak pernah kayak gitu," sambarku seketika.
Atan mendelik dan membalas ketus, "Cuma beberapa hamba yang mau naik tingkat aja yang dikasih ujian seberat itu."
Kami terdiam. Di dalam hati, mendadak aku kasihan pada Alina. Tanpa diketahui siapapun, termasuk Abah dan Umi, aku memang sudah tertarik padanya sejak dia pertama kali tiba disini lima tahun lalu. Melihat Alina yang tertawa lepas saat bersama ayahnya membuat tubuhku berdesir oleh perasaan yang tak kukenal. Bahkan hingga hari ini pun aku masih merasakannya, namun tetap diam dan terus memperhatikannya dari jauh.
Hingga tadi pagi. Saat aku tak sengaja memintanya tersenyum demi aku.
Apa yang sudah kulakukan? Harusnya aku tetap diam, bukan malah berbicara yang tidak-tidak. Apa yang Alina pikirkan tadi ketika aku berbicara begitu di depannya? Pasti image dingin yang melekat di diriku akan hancur begitu saja.
"Kamu bengong mulu ya. Mikirin apa sih?" tanya Atan sambil memasukkan ponsel ke saku kemeja koko.
Aku menghela napas sejenak, kemudian menjawab dengan hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...