24. Alina: Kemurkaan Mama

6 0 0
                                    

Satu jam sebelumnya...

“Sudah kubilang bukan aku yang mulai duluan!”

Semuanya kacau! Aku sudah tahu apa yang terjadi setelah aku dipukuli oleh monyet liar itu. Kak Fauzan mengancam akan melaporkan mereka semua ke polisi, tidak peduli kalau mereka sudah kelas dua belas dan akan ikut ujian semester depan. Tapi, si babi itu malah mengadu yang tidak-tidak ke keluargaku di rumah, mengatakan semua hal yang berkebalikan dengan fakta, dan membuat Mama langsung terbang untuk menjemputku ke sini.

“Sejak SD dulu kamu selalu bilang kalau bukan kamu yang mulai duluan, padahal kenyataannya lain....”

“KARENA MEMANG KALI INI BUKAN AKU YANG MULAI DULUAN!”

Sungguh, aku tidak bermaksud membentak Mama. Tapi ini sudah keterlaluan. Lagian kalau memang aku perempuan seburuk yang dikatakan babi itu, ngapain aku menggoda anak SMA yang masih mengandalkan orangtuanya? Sekalian saja kan aku cari sugar daddy kaya.

Eh, tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak mau jadi sugar baby. Kak Fauzan mau ditaruh dimana?

“Kurang ajar ya kamu!”

Aku memejamkan mata saat sebuah tamparan mendarat di pipiku. Mbak Widya dan Mbak Ziya hanya diam. Aku ingin memukul mereka, berteriak tentang kenapa tidak mau membantuku menghindar dari Mama. Tapi, mungkin mereka punya pertimbangan sendiri hingga memutuskan untuk jadi penonton saja.

“Beresin barang-barangmu! Kita pulang!”

“Aku gak mau pulang!”

“Kalau gitu biar saya yang beresin!”

Brengsek! Ibuku ini punya telinga tidak sih?!

Sebelum semua orang sempat mencegah, aku bangkit dan kabur. Aku tidak tahu mau pergi kemana, tapi kakiku tanpa bisa dicegah malah berlari ke ndalem keluarga Ilyas. Napasku tinggal satu-dua, kakiku sudah bergetar hebat, tapi kupaksakan untuk melangkah dan menekan bel berkali-kali.

“Bu Nyai Shofi ada?” tanyaku pada Mbak Mina yang membuka gerbang.

Mbak Mina mengangguk. Dibukanya gerbang lebih lebar, lalu mengantarku ke ruang tamu tempat biasa aku belajar. Tidak ada siapapun disana. Lebih tepatnya belum.

Aku tidak bisa menahan diri lagi saat mendengar surat Al Waqiah yang dibaca dengan suara lirih. Air mataku mengalir deras yang buru-buru kuusap dengan kasar. Namun, semakin aku menghapusnya, semakin kuat kenangan sialan itu merangsek masuk. Membuatku terduduk sambil membekap mulut agar tidak menangis histeris.

“Alin?”

Aku mendongak. Bu Nyai Shofi yang baru tiba berjongkok di hadapanku. Kutundukkan kepala demi menghindari tatapan matanya dan berkata, “Tolong saya, Bu. Saya gak mau pulang.”

“Gak ada yang memaksa kamu pulang, Nduk.”

“Mama saya datang, Bu. Beliau bilang kalau saya yang memprovokasi anak-anak kemarin itu. Saya gak mau pulang. Saya gak mau ketemu mereka,” pintaku putus asa.

“Alin....”

“Saya gak mau serumah sama mereka, Bu. Sekarang saya paham kenapa Ibu dan Kak Fauzan minta saya supaya mondok lagi lalu kuliah ke Timur tengah. Ibu mau nyelamatin saya kan? Atau saya kegeeran aja?” tanyaku lagi.

“Alina, dengerin saya. Tenang dulu, Nduk. Kamu jangan begini.” Bu Nyai Shofi menyahut, nadanya terdengar cemas. “Ayo, duduk dulu. Mbak Mina, tolong bawakan air putih dingin ke sini ya.”

Sedetik kemudian, Bu Nyai Shofi duduk di sofa sebelahku dan berkata pelan, “Kamu yang tenang, Nduk. Jangan panik, jangan histeris. Saya bakalan bantu kamu, mulai dari rencana saya soal masa depanmu.”

Bu Nyai Shofi mengulurkan tisu. Kuusap air mata, lalu meraih gelas air yang baru diletakkan Mbak Mina dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Setelah itu, aku mengembuskan napas dan menatap Bu Nyai Shofi.

“Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa saya cuma perhatian ke kamu, minta kamu untuk belajar privat sementara ada banyak santri yang kemampuannya setara dengan kamu. Saya berencana untuk nyimpan semuanya, tapi kamu udah dewasa. Mungkin memang seharusnya kamu tahu karena ini berkaitan dengan masa depanmu.”

Aku yakin ekspresiku terlihat tolol sekarang.

“Kamu tahu berapa usia Fauzan sekarang, Nduk. Dan saya tahu juga apa yang terjadi di antara kalian. Andaikan saya orangtua yang kolot, kuno, atau hanya memikirkan reputasi keluarga di masyarakat, saya gak akan membiarkan kalian akrab. Saya bakalan meminta kamu menjauhi dia, atau sekalian menikahkan Fauzan sama perempuan pilihan keluarga kami supaya kalian gak bisa berteman lagi.”

Bu Nyai Shofi ini ngomongin apa sih?

“Tapi saya tahu semuanya sejak lima tahun lalu. Dan itu maksud dari pelajaran kita selama sebulan ini. Saya sedang menyiapkan kamu supaya pantas mendampingi Fauzan. Semua pelajaran ini, semua didikan ini tujuannya supaya kamu seimbang dengan dia. Termasuk rencana mondok tahfidz di Jawa Timur. Saya pengen kamu mendalami ilmu agama sekaligus menghafal Al Qur’an lebih jauh, lalu setelah semuanya siap, saya bakalan menikahkan kamu dengan dia.”

A-apa kata Bu Nyai Shofi barusan? Menikahkan?

“Saya sama Kak Fauzan? Menikah?” tanyaku bodoh.

Bu Nyai Shofi mengangguk.

Aku diam sejenak, lalu tertawa. Kali ini bercampur dengan isak tangis.

“Saya gak pantas buat beliau, Bu.”

“Saya yang menilai apa kamu cocok dengan dia, dan penilaian saya tepat.” Bu Nyai Shofi tersenyum. “Masa lalu memang gak bisa diubah, tapi masa depan bisa. Dan saya mau kamu yang mendampingi Fauzan ketika sudah dewasa nanti.”

“Tapi, Ibu tahu gimana orangtua saya,” sahutku pelan. Kali ini tangisku pecah. “Saya gak mau pulang, Bu. Tolong saya.”

Kalian tahu apa yang selanjutnya terjadi. Kak Fauzan pulang, lalu memohon pada ibunya supaya aku diperbolehkan tinggal. Saat dia kembali dari mandi dan berganti baju, Mama kembali memaksa dan berkata kalau aku yang memulai masalah duluan. Aku bersyukur Bu Nyai Shofi cepat-cepat menolongku. Aku sudah takut duluan kalau Mama akan menyeretku dan tidak memperbolehkanku kembali ke asrama.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Kak Fauzan saat kami menepi sejenak di ujung sofa. Mbak Widya dan Mbak Ziya masih mengobrol dengan Bu Nyai Shofi, membahas soal aku yang tidak boleh keluar asrama selama liburan.

Aku mengangguk. Jarak kami terpaut beberapa meter dan dipisahkan oleh meja panjang, dan aku memutuskan menunduk menatap lantai karena mata Kak Fauzan tidak berhenti menatapku.

“Kenapa, Kak?” tanyaku balik.

“Saya tadi takut kalau kamu dibawa pulang dan gak balik lagi ke sini.”

Diam-diam kuusap air mata, terharu mendengar pengakuannya.

“Bukannya itu bagus? Gak ada lagi yang bikin onar di asrama?” tanyaku datar.

Kak Fauzan menggeleng. “Saya gak pernah menganggap kamu pembuat onar.”

“Bahkan di dalam hati?”

Kak Fauzan mengangguk.

“Jangan bilang kayak gitu lagi. Kamu harus tetap disini, lalu mondok di Tuban dan kuliah ke Maroko. Kamu pengen bahagia kan? Jadi, kamu harus sabar.”

Aku mengangguk, menyahut, “Iya, Kak.”

“Yang kuat. Kalau mau cerita, kamu bisa cari saya.”

Air mataku kembali merebak. Buru-buru kuusap, namun cairan bening itu makin deras mengalir.

“Nangis aja, gak usah ditahan.”

Kuseka wajah, lalu mendongak dan berkata, “Semua perlakuan Mama gak bisa aku lupain, Kak. Mulai dari nyamain sikapku sama setan, nganggap mereka yang bener sementara aku yang salah, bahkan masih gak percaya disaat kemarin aku udah muntah darah gitu. Apa aku harus mati dulu supaya sikap beliau berubah jadi baik?”

Kugigit bibir, menahan isak yang hendak lolos. Apa aku harus mati dulu supaya Mama berubah? Dan lagi, aku juga lelah kalau tetap hidup tapi malah menjadi beban semua orang. Beban Kak Fauzan yang harus menyisihkan waktu untuk mendengar ocehan random-ku, beban mbak-mbak pengurus yang harus selalu mengawasi keberadaanku, dan beban bagi Putri dan Julia yang harus menjaga teman lemah sepertiku.

“Jangan ngomong gitu, Lin. Tolong, jangan bilang ‘pengen mati’ terus.” Kali ini Kak Fauzan mencondongkan tubuhnya hingga jarak diantara kami mengecil. Kumundurkan punggung dan memalingkan muka.

“Aku udah capek.”

***

Sejak kejadian tadi siang, aku tidak berani lagi untuk menatap apalagi melirik Kak Fauzan. Malu melingkupi diriku, membuatku ingin lenyap ditelan bumi kalau teringat bagaimana aku menangis seperti anak kecil di depannya tadi.

“Ini buat kamu.”

Aku melirik benda panjang yang diberikannya. Karena libur, Kak Fauzan menyarankan supaya aku tetap melanjutkan pelajaran privat seperti biasa. Tapi aku tidak memperhitungkan kalau dia akan ada di rumah sore ini.

Ya, seperti biasa, aku tolol kalau menyangkut soal Kak Fauzan.

“Itu apa?” tanyaku tanpa mengangkat kepala.

“Ya dibuka dong, Dek.” Kak Fauzan menjawab seraya tertawa kecil. “Kalau kamu tetap sibuk melototin buku, sampai minggu depan kadonya bakalan tetep disana.”

Aku mendelik, lalu meraih kotak panjang tersebut dan menyobek kertas pelapisnya. Alisku terangkat saat mengangkat sebuah buku tebal.

“Saya tahu kamu suka novelnya Dan Brown. Tapi jangan dibaca pas jam pelajaran ya. Atau nanti saya ambil lagi,” ancam Kak Fauzan.

Mataku menyipit, lalu menarik buku lain sambil berkata, “Baru juga ngasih, udah diancam mau ngambil lagi. Kakak gak asyik.”

Kak Fauzan tertawa. Buru-buru kualihkan pandangan sebelum pingsan di bawah kakinya.

Selama beberapa menit, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tetap berusaha tenang, meski yang ingin kulakukan saat ini adalah mengitari sekeliling ruangan sambil berteriak seperti monyet liar.

“Tadi Bu Nyai Shofi ngomong sesuatu.” Aku menggumam pelan. “Kenapa Kakak masih belum mau menikah?”

Kak Fauzan tidak menjawab. Aku meliriknya, menemukan dia tengah menatap ke sesuatu di belakangku dengan sorot mata menerawang.

“Kak?”

Kak Fauzan menghela napas.

“Karena pernikahan itu butuh pertimbangan yang matang, baik dari segi ekonomi, kesiapan untuk berumah-tangga, dan siap menerima kelebihan serta kekurangan pasangannya. Menikah gak sama dengan beli jajanan di pinggir jalan—yang kalau gak suka bisa dibuang. Konsep pernikahan lebih dalam daripada itu.”

Aku mengangguk, setuju dengan ucapannya.

“Saya belum kepikiran sampai sana. Yang terpikir saat ini cuma bekerja sekeras mungkin supaya bisa membahagiakan istri ketika udah nikah nanti. Lagian, mau sekuat apapun saya berusaha, kalau jodoh saya belum datang mau diapain?” tanya Kak Fauzan lagi, kali ini sambil tersenyum.

Aku ikut tersenyum. Ingin kutanyakan apa dia sudah tahu tentang rencana ibunya yang ingin menikahkan kami, tapi aku malu. Gak lucu kalau nanti Kak Fauzan ketawa atau malah pergi dari ruangan ini.

“Saya boleh tanya?”

Aku mengangguk.

“Kamu sama anak laki-laki di sekolah Kristen itu ... pacaran?”

Jantungku nyaris berhenti saat Kak Fauzan menanyakan hal itu. Darimana dia tahu soal Gabrielle? Siapa yang menceritakannya?

“Saya tadi lihat di Instagram, dan ada yang nge-tag kamu.” Kak Fauzan berkata dengan nada hati-hati. “Kamu tahu kan ... ehm, peraturan pesantren melarang santrinya untuk pacaran.”

Aku mengangguk.

“Jadi?”

Ingin kukatakan kalau aku lebih suka beliau daripada Gabrielle, tapi setelah dipikir-pikir lagi, hal tersebut terdengar sangat memalukan. Jadi aku menunduk lagi.

“Alina.”

“Di-dia bukan pacarku, Kak. Aku gak mau, meski dulu sempat suka sesaat sama dia. Ibaratnya aku cuma kagum sebentar, lalu akhirnya mundur pas tahu kalau background kami bertolak belakang,” balasku nyaris tanpa suara.

Saat aku meliriknya, terlihat ekspresi Kak Fauzan yang ... apa ya? Puas? Atau girang?

“Kamu pernah pacaran kayak temen-temenmu?” tanya Kak Fauzan lagi.

Aku menggeleng. “Buat apa? Pacaran itu ibarat penjara. Mau apa-apa izin dulu, padahal status kami juga belum sah. Numpuk dosa malahan kan?”

Kak Fauzan tersenyum lagi, kali ini lebih lebar hingga aku khawatir mulutnya tiba-tiba sobek.

“Sudah makan siang, Nduk, Le?”

Kak Fauzan buru-buru bangkit dan menggumamkan sesuatu seperti kata belum, membuatku dan Bu Nyai Shofi tersenyum. Saat akhirnya Bu Nyai Shofi duduk di hadapanku, tanpa terduga beliau berkata, “Saya bersyukur karena kamu belum pernah pacaran, Nduk. Itu artinya doa yang saya tujukan buat kamu selama ini gak sia-sia.”

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang