Hari ini Alina tidak masuk.
Bagi sebagian orang, tidak ada Alina berarti satu hari penuh kedamaian di sekolah. Mereka terbebas dari sorot dingin yang kerap terlihat di mata Alina, juga terbebas dari celetukan-celetukannya yang jujur meski keji. Namun, bagi sebagian orang lainnya, satu hari tanpa Alina rasanya ada yang kurang. Seolah dunia terlalu mendung dan gedung hening bak rumah hantu.
Yang terakhir ini aku salah satunya. Dan Putri. Adikku itu memang gencar mendekati Alina meski sering dikata-katai dengan tak berperasaan.
"Galau, Pak?"
Aku meliriknya, jengkel dan geli bercampur jadi satu. Sejak aku menitipkan keperluan untuk Alina semalam, dia memang tidak berhenti menggodaku begitu sampai di sekolah. Di satu sisi, aku bersyukur karena semalam kami tidak tidur di rumah. Entah apa yang akan terjadi andaikan Abah dan Umi tahu apa yang kulakukan.
"Umi gak bakalan marah, Mas. Bahkan mungkin beliau orang pertama yang nyuruh Mas beliin sesuatu kalau Alina sakit."
Entah kenapa, sekelebat bayangan lewat di benakku. Umi-dalam versi lebih tua dari saat ini-memintaku membelikan sesuatu untuk Alina yang tengah sakit. Umi tahu dia suka jus dan bakso yang dijual di sebelah gedung pesantren.
"Tahu gak, Mas, aku lagi mikirin apa?" tanya Putri dengan nada geli. "Aku bayangin suatu saat nanti jadi dokter pribadinya Alina, terus Mas yang bucin bakalan ngelakuin apa aja ketika dia sakit. Beliin makanan kesukaannya, nyuapin makan, bahkan rela turun pas jam istirahat karena disuruh beliin sesuatu sama Umi buat Alina yang terkapar di kasur dengan tangan dililit infus."
Aku yakin wajahku saat ini sudah semerah kepiting rebus. Namun, untungnya pandangan Putri terarah ke gedung Aliyah di depan kami, jadi dia tidak bisa melihat ekspresi malu-malu yang terpancar jelas dari wajahku.
"Entah kenapa, aku bisa ngerasain kalau Mas sama Alina itu cocok. Sekarang ini memang dia slengekan, kasar, bahkan terkesan jahat, tapi aku yakin suatu saat nanti dia bakalan jadi orang hebat. Dan orang sehebat dia gak mungkin dapat jodoh yang biasa-biasa aja. Minimal yang setara sama dia."
"Dan menurutmu?" tanyaku datar.
"Menurutku? Mas cocok sama dia."
"Kamu ngomong gini bukan karena gak ada laki-laki yang suka Alina kan?"
"Tahun lalu ada laki-laki yang suka sama dia. Saking naksirnya, dia nge-tag Alina di status Facebook. Isinya tentang kenapa Alina jarang banget online." Putri terkekeh. "Tapi tenang aja. Cowok itu udah punya pacar baru. Dia gak selevel sama Alina karena kerjanya gonta-ganti pacar tiap sebulan sekali, mana selirnya banyak pula."
"Dan kamu bilang gini bukan karena Mas jomblo kan?" tanyaku sinis.
"Dari dulu kan Mas Fauzan emang udah jomblo. Ngenes lagi."
Aku mendelik.
"Chill, Bro. Fokusin aja deh kerja dan nabungnya. Nanti kalau Alina betulan kuliah di Rumania, susul dia ke sana terus lamar. Atau kalau mau yang lebih romantis, ajak ke Disneyland Paris. Cewek kan suka Disney," seringai Putri.
"Dia sukanya Despicable Me."
Buru-buru kuperbaiki posisi saat terdengar langkah kaki dari arah tangga. Putri memundurkan kepala, pandangan matanya tertuju ke depan dimana Julia, Wulan, dan beberapa temannya yang lain menatap kami dengan ekspresi bertanya.
"Alina masih tidur, Jul?" tanya Putri.
Julia mengangguk. "Pules banget dia. Mungkin infusnya dicampur obat tidur juga."
Seusai mengucapkan kalimat itu, mereka berjalan menuju lorong di samping kantor. Aku sudah tahu apa yang terjadi. Semalam aku melihat Bibi Salma, adik Abah, berjalan memasuki pintu samping di dekat ndalem asrama putra. Biasanya dia jarang datang dan melayani pemeriksaan di rumah, namun agaknya sakit Alina sudah terlalu parah sampai harus beliau sendiri yang datang ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...