Kalau saja tanganku tidak dililit infus, ingin aku cosplay jadi reog sekarang juga!
Aku sudah bosan disini. Julia dan Putri sekolah Diniyyah. Mbak Aira pamit kembali ke kamar pengurus. Aku sudah menyelesaikan bacaan yang akan disetorkan pada Bu Nyai Shofi nanti, sementara iPod-ku tertinggal di kamar. Apa yang harus kulakukan?
Kupandangi selang infus yang menjuntai turun. Ini kantong infus yang kesekian setelah menghabiskan dua kantong lainnya. Kata dokter Salma, aku dehidrasi dan kekurangan nutrisi. Jadi, beliau memutuskan untuk memasangkan infus nutrisi padaku. Hal yang sama sekali tidak kusukai karena aku lebih suka mati.
Mengingat kata itu mau tak mau air mataku merebak lagi. Aku ingat dengan pembicaraan bersama Mbak Aira tadi. Aku ingat dengan permohonan Gus Fauzan yang memintaku untuk mempercayainya. Aku ingat dengan hatiku yang kering kerontang karena kekurangan cinta.
Haruskah aku terima?
Tapi aku takut ditinggal lagi. Seperti yang dilakukan Mbak Aira padaku. Ditinggal beliau membuatku tidak keruan saking bergantungnya pada beliau, lalu bagaimana jika suatu saat nanti Gus Fauzan ikut meninggalkanku? Aku bisa mati, dan aku lebih suka begitu daripada hidup dan menjadi gila.
Kutarik tisu dan mengusap air mata dengan kasar. Meski sulit menahannya, tapi aku tidak boleh menangis. Aku tidak mau menjadi perempuan yang cengeng, aku tidak mau dianggap mencari perhatian, dan aku tidak mau membuat semua orang tidak enak hati dengan tangisanku. Aku juga tidak mau mendengar bisikan-bisikan maupun cemoohan betapa tidak tahu malunya aku karena menangis meski sudah berumur enam belas tahun.
Tapi aku lelah. Rasa sesak ini tidak tertahankan lagi. Rasanya aku ingin menghantamkan tanganku pada apa saja saat ini juga.
Seakan dikontrol sesuatu, kucabut jarum infus dan berjalan menuju ruang tamu di depan. Berbagai kenangan sialan itu membanjiri benakku lagi, memenuhi pikiranku seperti api yang siap membakar kapan saja. Aku sudah berusaha mengenyahkannya selama ini, tapi gagal. Mungkin penyebabnya karena aku selalu penasaran dengan sebab mereka melakukan semua itu.
Kutatap bayanganku yang kusut di cermin, tersenyum sinis saat menyadari bahwa ucapan Mama mungkin saja benar. Lihatlah penampilanku. Kusut. Tidak ada bedanya dengan pasien rumah sakit jiwa yang sering hilang kendali.
"Alina gila. Alina gila."
"Dasar perempuan murahan!"
"Iblis!""Gembel. Rambut awut-awutan kayak Mak Lampir!"
Aku terduduk, kedua tanganku menutup telinga agar suara-suara itu tidak semakin memenuhi pikiranku.
"Kelakuan kayak iblis! Gak bisa diajarin!"
"Gak akan berkah hidupmu ini. Melawan terus sama orangtua."
"Kamu pikir impianmu bakalan tercapai dengan kelakuanmu yang kayak iblis sekarang ini?"
Aku menggeleng, bibirku terus mengucapkan kalimat istighfar meski tidak ada efeknya.
"Bunuh mereka! Mereka sudah menghancurkan hidupmu. Karena mereka, kamu dianggap gila oleh semua orang. Kamu dianggap aneh, kamu kehilangan kepercayaan diri, dan kamu kehilangan hak untuk membela diri."
Aku terus menggeleng, sementara kedua tanganku menutup telinga semakin kuat.
"Karena Dinda, Nadya, dan Rafika, kamu kehilangan masa-masa kecilmu yang berharga. Kamu tidak mau membalas mereka? Kamu tidak mau melihat mereka merangkak-rangkak dan memohon maaf di kakimu? Kamu tidak mau merasakan enaknya memukuli kepala mereka seperti yang mereka lakukan dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...