2. Alina: Kemarahan

43 6 0
                                    

Dia pikir dia siapa? Dengan statusnya sebagai cucu Kyai, memangnya itu bisa membantuku untuk keluar dari neraka dunia? Memang apa yang diharapkannya jika aku menceritakan semua mimpi buruk, ketakutan, kebencian, dan seluruh kesalahan-kesalahan yang dilontarkan padaku baik kecil maupun besar sebelas tahun terakhir? Kutanya; apa Gus Fauzan yang terhormat itu bisa membantuku?

Hish, nyusahin memang!

"Alina."

Aku menoleh saat suara familier yang sangat kuhafal menelusup masuk ke pendengaranku. Tanganku terjulur, bermaksud menangkap kaleng soda yang kumainkan sebelum benda itu diambil oleh Mbak Aira yang menatapnya nanar.

"Ini gak sehat, Nduk. Sudah berapa kali Mbak bilang supaya kamu jaga kesehatan?" tanya Mbak Aira pelan. Nadanya terdengar sedih, membuat jantungku terasa seperti ditusuk.

Aku menelan saliva. Sejak lima tahun lalu, hanya Mbak Aira yang baik padaku. Hanya Mbak Aira yang selalu sabar mengurus dan membimbingku. Hatiku terasa perih saat tahu bahwa lagi-lagi aku mengecewakannya.

"Aku males makan. Gak nafsu," balasku dingin. Kukeluarkan bola tenis dari tas dan memantulkannya ke dinding.

Mbak Aira meletakkan tas besarnya di meja, lalu duduk di sebelahku. Kami berdiam diri hingga Mbak Aira mendadak memutar posisi duduk dan dia menghadapku sepenuhnya.

"Kamu kenapa lagi kali ini?" tanya Mbak Aira lembut. "Mbak awalnya berharap kamu bisa jadi lebih baik dan mandiri setelah Mbak keluar dari sini, tapi ternyata kamu semakin gak peduli sama diri sendiri."

Aku menghela napas, lalu merebahkan kepala pada lutut. Sejak kembali dari rumah dua minggu lalu, sakit kepala selalu menyerangku. Kenangan-kenangan bangsat yang kualami saat di rumah pun makin memperparah keadaan hingga membuatku insomnia.

"Aku capek, Mbak," ucapku lirih.

Kutumpukan dagu pada lutut, menatap bungkusan makananku yang tersisa sambil memainkan bola. Benar yang dikatakan Pak Atan di kantor tadi pagi. Sudah dua minggu aku tak menyentuh makanan yang layak. Dalam dua minggu, vending machine di sekolah dan kantin asrama nyaris kosong karena ulahku. Pagi tadi aku bahkan mendengar gumaman Bu Rahma yang heran mengapa kaleng-kaleng minuman di dalamnya tersisa tak seberapa.

Semua ini karena kenangan keparat yang tak pernah mau minggat dari otakku. Haish, brengsek!

"Kalau capek, istirahat. Jangan terlalu maksain diri." Tangan kurus Mbak Aira terjulur, meletakkan kaleng yang sebelumnya dia pegang.

Aku menggeleng. Kuhela napas sambil meluruskan tubuh-berusaha meredakan nyeri yang menyerang ulu hati.

"Aku gak punya waktu buat istirahat, Mbak," balasku datar. "Sakit atau sehat juga gak ada bedanya. Gak ada yang bakalan perhatian. Adanya dikatain caper."

"Mbak gak pernah ngatain kamu caper, Nduk. Jangan pernah berpikiran kayak gitu," balas Mbak Aira emosional.

Aku balas menatapnya dan berkata dingin, "Memang bukan Mbak yang bilang, tapi orang suci yang menyebut dirinya sebagai orangtua."

Mbak Aira menghela napas. Aku apalagi. Kupantulkan bola tenis ke lantai, menyembunyikan air mata yang hendak menetes ke pipi.

Sejak si tua itu punya ponsel baru dan mengenal teman-temannya di luar negeri yang kebanyakan orang bermasalah baik dari keluarga dan bahkan mentalnya sendiri, Mama berubah. Tabiatnya yang pemarah dan suka membentak kian menjadi. Parahnya lagi, Mama tega mengataiku mencari perhatian saat aku sakit tiga minggu lalu. Sejak itu, aku bersumpah tak akan pernah mengeluh sakit lagi pada orangtua tak punya nurani itu.

"Doakan mereka, Alina. Doa anak shalihah insya allah didengar Allah."

Aku menggeleng. Aku bukan anak shalihah. Kalau iya, Mama tidak akan menyamakanku dengan setan saat kelakuannya sendiri seribu kali lebih parah daripada aku.

"Kamu gak mau doain orangtuamu sendiri?" ttanya Mbak Aira dengan nada tak percaya.

Aku cepat-cepat menggeleng dan menjawab, "Bukan gitu." Kuhela napas sejenak sebelum melanjutkan, "Aku bukan anak shalihah, Mbak. Aku ini Alina, anak yang kata Mama kelakuannya sama kayak setan. Anak yang kata Mama gak bakalan mendapat keberkahan dari Allah. Dengan semua makian dan sumpah-serapah yang bikin sakit hati itu, mana bisa aku doain Mama tanpa nyebutin yang buruk-buruk? Aku bahkan ragu apa aku masih punya perasaan sayang buat mereka."

Mbak Aira diam. Kubuka tumbler, meneguk cokelat dinginku sebelum terbatuk dan menyemburkannya sedetik kemudian. Pertanyaan yang dilontarkan Mbak Aira benar-benar membuatku nyaris berhenti bernapas.

"Kalau sama Mbak Aira ... apa kamu gak sayang juga?"

***

Pertanyaan Mbak Aira tadi berhasil membuatku linglung sepanjang sore. Apaan sih maksudnya? Ya, aku memang sayang pada Mbak Aira. Aku menganggapnya sebagai kakak yang tak pernah kumiliki. Entahlah beliau menganggapku apa. Mungkin anak kecil yang selalu merepotkannya selama lima tahun belakangan.

"Bengong mulu woi."

Aku mendelik, namun gadis dengan bros matahari yang disematkannya di lengan baju itu hanya menyeringai. Julia Maharani, salah satu spesies menyebalkan yang harus dilahirkan setelah Gus Fauzan.

"Dia ganteng ya?" tanya Julia sambil menunjuk Gus Fauzan yang tengah mendorong motornya. Di belakangnya, Pak Atan mengikuti. Mendadak aku teringat sesuatu. Selama ini Gus Fauzan selalu keluar bersama Gus Ali apapun alasannya. Mengapa akhir-akhir ini Gus Ali tak pernah terlihat lagi?

"Bengong lagi," sentak Julia.

Aku mendengus, lantas menjawab pertanyaannya, "Ganteng kalo nyebelin buat apa?"

"Nyebelin tapi pas kerja diintipin. Apaan tuh yang kayak gitu?" sindir Mbak Aira yang baru tiba. Dihampirinya konter dan meminta sesuatu pada penjaga kedai.

Aku menoleh dan bertanya sinis, "Aku punya mata. Memangnya gak boleh ngeliat? Mana tau ntar di Rumania dapet tugas jadi panitia acara kampus dan harus ngoperasiin sound-system. Kan sekalian belajar."

Julia yang tengah meneguk sari jeruknya seketika tersedak, sementara Mbak Aira menyela dengan nada geli, "Udah PD banget kayaknya bisa kuliah ke sana. Jangan-jangan nyampe sana malah jadi tukang angkut sound system pula."

"Jahat banget mulutnya elah," komentarku. Julia malah sudah terbahak seolah yang dikatakan Mbak Aira adalah sebuah jokes lucu. Padahal ocehannya lebih menyebalkan daripada mendengar lenguhan sapi saat Idul Adha kemarin.

Aku tidak menjawab. Kenyataannya, aku mengintipi Gus Fauzan karena tergelitik saat teman-temannya menyebut-nyebut 'Jessica Chastain'. Perempuan itu salah satu idolaku, walaupun aku hanya menyukai aktingnya saat dia menjadi ilmuwan NASA. Tapi selain itu, rambut merahku-lah yang menyebabkan mereka meledekiku mirip dengan Jessica. Padahal aku lebih merasa mirip dengan Valeria Guntur, salah satu karakter favoritku di serial Omen dan Dark-nya Lexie Xu.

"Jujur deh sama Mbak. Kamu suka sama Mas Fauzan kan?" tembak Mbak Aira tiba-tiba.

Nata de coco yang hendak kutelan spontan menyembur keluar. Aku terbatuk hebat seketika.

"Pertanyaan apa sih itu?" amukku begitu batukku mereda. Mana mungkin aku tertarik pada orang menyebalkan seperti Gus Fauzan. Semua laki-laki itu sama saja; hanya mengharapkan perempuan seksi untuk jadi pasangannya. Sementara aku yang kurus bak tongkat pramuka anak SD ini tertinggal dan hanya bisa menatap gadis-gadis good looking dengan penuh rasa iri.

Dunia ini sungguh tolol, dan yang menghuninya lebih tolol lagi.

"Beli ayam kremes yok," ajakku pada Julia.

Mbak Aira yang hendak kembali ke asrama menaikkan satu alis dan bertanya, "Oh, kamu udah mau makan lagi?"

"Ini supaya Mbak gak sedih lagi," sindirku sinis. Aku masih belum bisa bersikap seperti dulu pada beliau. Tidak disaat aku masih sakit hati karena diabaikan.

Saat menghampiri pengurus yang menjaga pintu masuk, aku masih bisa mendengar apa yang dikatakan Julia.

"Anggep aja dia lagi PMS, Mbak. Kelakuannya emang lagi ngeselin sejak dipanggil Gus Fauzan tadi siang."

ALFA (Alina & Fauzan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang