Pagi ini ada ulangan di kelas XII IPA-2, kelas didikanku. Sambil mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, sesekali aku melirik Alina yang sedang membolak-balik buku yang kuberikan.
Dan aku tidak akan menegurnya, asal dia tidak menganggu konsentrasi anak-anak lain.
Satu kepalanya kali ini ditopangkan ke arah jendela, sementara tangannya yang lain membentur-benturkan ujung pulpen ke buku. Sesekali dia menulis sesuatu, lalu kembali menatap jendela.
"Pekerjaanmu sudah selesai, Lin?" tanyaku pelan.
Semua orang serentak menoleh ke bangku di ujung ruangan itu, sementara Alina duduk tegak dan mengangguk kaku.
"Dikoreksi lagi, baru setelah itu kamu boleh ngelakuin apapun yang kamu mau. Asal jangan berisik," ucapku datar.
Alina mengangguk lagi, lalu kembali menulis. Sesekali aku melirik dia, bertanya-tanya tentang apa yang tengah dia pikirkan saat ini.
Di dalam hati, aku bertanya apakah yang kulakukan sekarang ini wajar atau tidak. Aku seorang hafidz, tapi malah berinteraksi dengan gadis yang aku suka. Memberikannya sesuatu pula. Apa aku sudah melewati batas yang diperbolehkan dalam syariat?
Kupejamkan mata sejenak, lalu bangkit dan berpura-pura berkeliling untuk mengecek pekerjaan anak-anak lainnya. Sesekali aku melirik Alina yang kembali menatap ke luar. Hanya bahunya yang naik-turun yang menandakan kalau dia masih bernapas.
Lima menit setelah aku tiba di meja sudut belakang yang merupakan tempat duduk Alina dan memeriksa pekerjaannya, bel tanda istirahat berdering. Aku segera maju dan mengambil lembaran kertas ulangan lainnya, lalu membereskan buku-buku dan menutup kelas sebelum berjalan menuju kantor. Di sana, baru ada Atan yang sibuk dengan laptopnya.
"Kamu beli notebook itu pakai uang gajimu?" tanya Atan penasaran.
"Iya lah. Masa mau minta Umi atau Abah?" balasku sambil meletakkan tumpukan kertas ulangan di meja. Satu tanganku meraih gelas teh dan menyeruputnya, sementara tangan yang lain mengembalikan PC dari mode sleep dan membuka Microsoft Excel.
Atan tidak berkata apa-apa lagi dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Sadar gak kamu kalau kamu secara gak sadar lagi menggantikan posisinya Aira?" tanya Indra dari ruangan sebelah.
Sejenak, kuedarkan pandangan ke sekeliling kantor. Hanya ada kami bertiga di ruangan ini. Semua guru masih mengajar meski murid dari kelas XII-IPA 2 sudah keluar dan naik ke kantin, kecuali Pak Romi yang tengah berkutat dengan PC dan earphone besar di telinganya.
"Sadar." Aku menjawab pendek sambil meraba apa maksud pertanyaannya.
"Jadi, gimana tanggapanmu kalau suatu saat Alina melunak dan malah jadi suka sama kamu?"
"Itu hak dia buat suka sama siapa aja," jawabku lagi, meski kali ini dengan suara gemetar yang kupaksakan agar terdengar biasa.
Dari sudut mata, kulihat Atan dan Indra saling lirik.
"Usiamu udah dua puluh lima, dan kamu gak pernah nunjukin ketertarikan sama siapapun. Bahkan Tari pun enggak. Memangnya keluargamu gak mulai tanya-tanya? Bagi seorang Gus, di usia segini seharusnya udah dicariin jodoh dan dinikahin tiga bulan lagi," tutur Atan.
Aku tidak menjawab dan pura-pura sibuk dengan komputer.
"Gak mungkin kan kamu nunggu Alina?"
Aku tidak menjawab lagi. Biar saja mereka bertanya hingga lelah. Urusan ini tidak boleh diketahui siapapun, setidaknya hingga jalan kami ke depannya jelas.
"Udahlah, Ndra. Dia gak mau jawab," gerutu Atan. Dari sudut mata, kulihat Indra mendengus sebelum kembali ke meja kerjanya.
Kubuka taskbar baru, lalu membuka menu YouTube dan mengetikkan kata 'Vals'. Aku ingin tahu apa arti lagu yang dinyanyikan Alina tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Teen FictionHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...