Aku tahu, semua orang sekarang mungkin membicarakan sikapku yang berubah sejak awal semester kemarin. Aku tahu mereka menatapku dengan sorot mata ingin tahu, termasuk tiga pengurus santri putra yang duduk di seberang sana. Salah satunya cucu dari Kyai Ilyas yang siang tadi memintaku tersenyum untuknya.
Kuhembuskan napas dan menyandarkan punggung. Aku letih, sungguh. Tapi mimpi buruk selalu membuatku sulit tidur hingga akhirnya insomnia dan tidak pernah bisa memejamkan mata lagi saat malam tiba.
"Mau makan?"
Julia sudah berdiri di sebelahku entah sejak kapan. Kuanggukkan kepala, kemudian menutup buku dan mengikutinya ke gerbang belakang. Gerobak-gerobak makanan terlihat ramai. Kakiku melangkah menuju meja yang menjual mie instan.
"Tolong mie satu pakai cabe rawit lima biji ya, Bu," pintaku sopan. Di sebelahku, Julia memesan makanan yang sama.
Penjual itu mengangguk, sementara Julia langsung berbisik, "Kamu gak sakit perut makan sambel segitu banyak?"
Aku menggeleng. Justru itu yang kubutuhkan agar tetap waras melewati malam ini.
Julia mengedikkan bahu, kemudian berjalan menuju kedai di sebelah Aliyah dan membeli minuman untuk kami. Sementara aku sendiri mengembuskan napas. Hal yang kuinginkan saat ini adalah tidur—kalau perlu tidak usah bangun lagi selamanya. Tapi aku tidak mau membuat Mbak Aira sedih.
Sedetik kemudian aku mendengus. Sedih? Sepertinya dia justru bahagia karena tidak perlu meladeni manusia separuh setan sepertiku jika aku betulan mati.
Tiga menit kemudian, mie kami jadi. Aku segera memberikan selembar uang sepuluh ribuan yang dibalasnya dengan kembalian sebesar lima ribu. Julia yang baru kembali juga melakukan hal yang sama, sebelum berjalan mengikutiku menuju gedung Madrasah Aliyah.
"Kamu gak pernah mau banyak ngobrol lagi, Lin." Julia membuka percakapan. Plastik berisi minuman dingin dan mangkuk mie diletakkannya di meja, lalu duduk di hadapanku sambil membuka buku matematika.
Aku tidak menjawab. Kenyataannya, aku memang tidak mau berbicara lagi. Bicara membuatku dianggap mencari perhatian—apalagi oleh seseorang yang seharusnya bisa kusayangi sebagai orangtua. Tadi siang dan sore adalah pengecualian. Di luar itu, aku terus membisu.
Bukankah mengherankan? Aku yang dulunya ceria, usil, dan cerewet berubah menjadi arca batu. Tidak mau bicara kecuali tadi siang dengan Mbak Aira dan Gus Fauzan.
Mengingatnya membuatku menghela napas lagi. Kenapa beliau bersikap begitu? Seharusnya Gus Fauzan cukup diam dan tidak ikut campur. Aku tidak mau terlanjur menyayanginya seperti orang-orang yang membantuku, namun suatu saat nanti malah meninggalkanku karena menurutnya aku tidak waras.
Aku tidak sanggup kalau harus mengalaminya sekali lagi.
Kugelengkan kepala, kemudian menggulung mie dengan garpu dan melahapnya bak orang kelaparan. Aku perlu energi untuk melewati malam ini. Tidak peduli kulit dan wajahku sudah sepucat mayat, dengan kantong mata tebal berwarna hitam. Aku lebih takut lagi kalau tidur dan kembali bermimpi tentang masa lalu.
Tentang hinaan, cacian, bahkan siksaan yang selalu kuterima selama enam tahun di sekolah dasar dulu.
Mengingat itu membuat sekujur tubuhku bergetar lagi. Garpu kucengkeram erat-erat, mataku memanas dan dadaku terasa sesak. Aku sungguh sudah lelah menahan semuanya sendiri, tapi aku tidak tahu harus bercerita pada siapa. Aku tidak mau membebani pikiran Mbak Aira dengan cerita masa laluku.
Apa yang harus kulakukan?
"Lin?"
Aku menoleh. Julia terlihat buram dalam penglihatanku. Kugigit bibir sekuat tenaga agar tidak kelepasan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFA (Alina & Fauzan)
Ficção AdolescenteHafidz, guru matematika, tampan, dan cucu kyai. Siapa yang tak mengagumi Fauzan Maulana Ilyas? Hanya Alina Stefan yang bodoh dan malah menganggapnya musuh meski Fauzan berusaha keras untuk menolongnya. 'Tentara Jepang', itulah julukan yang disematka...