III. Jealous

52.9K 3K 512
                                    

"Kamu udah ngerjain tugas?" pertanyaan Levi menyentakkan aku yang sedang agak melamun sambil melihat keluar dari jendela di sampingku.

Aku sungguh nyaris tak sadar, kalau dia sudah duduk di sebelahku. Aku biasa memilih kursi di jajaran palingbelakang, dan Levi selalu di jajaran depan – jelas saja melihat dia di sebelahku sekarang, membuatku terkejut. Beberapa orang temanyang biasa duduk denganku memang belumdatang, aku jadi jengah sendiri di dekati Levi seperti ini – apalagi kejadian malam minggu kemarin masih saja menghantuiku.

"Emang ada tugas?" kata ku, seperti biasa nampak bodoh. Levi tersenyum sambil mengeluarkan salahsatu buku catatannya.

"Nih kerjain!" katanya sambil menyimpan buku itu di hadapanku. Dia menyuruhku mengerjakan, tentu saja maksudnya mencontek tugasnya yang sudah selesai.

Aku mengambil buku miliknya, membuka dan mengamatinya beberapa saat. Hingga ingatanku kembali. Memang ada tugas membuat jurnal dari beberapa soal yang pernah diberikan dosenku kemarin. Aku pun mengeluarkan buku tugas milikku, untuk mulai menyalin tugas Levi.

"Niel" kata Levi sambil menangkupkan kedua tangannya diatas meja, menyandarkan kepalanya disana dan menengokkan wajahnya ke arahku, memperhatikan aku yang sedang serius menyalin.

"Apa?" sahutku pendek.

"Kenapa gak bales sms ku dari kemarin-kemarin?"

Tanganku berhenti menulis, dan perlahan aku menoleh pada Levi. Sepasang mata besarnya yang terlihat sendu, sedang memandangku – aku cepat mengalihkan lagi pandangan pada buku di hadapanku. Meski sebenarnya konsentrasiku mulai buyar. Aku memang tidak menggubris setiap sms dan teleponnya dari sejak kami pulang menonton di malam minggu kemarin. Geez, bagaimana aku menjelaskannya, pokoknya aku sedang ingin menghindar, kalau perlu aku ingin menghilang saja. Kalau tidak ingat jatah membolosku sudah banyak yang terpakai, aku sebenarnya ingin tidak masuk kuliah saja hari ini. Aku masih perlu menenangkan diri dan pikiranku. Mencium seorang cowok, bagi cowok labil sepertiku sungguh bukan hal sepele. Aku masih perlu meyakinkan diriku mempertanyakannya lagi, kenapa waktu itu aku sampai mencium Levi... terbawa suasana?

Ya, itu jawaban yang sudah aku siapkan karena terdengar paling masuk akal.

"Pulsa gue abis" jawabku sekenanya.

"Terus kenapa gak jawab telpon aku?"

"Uhm.. lo nelpon, pas gue lagi gak deket-deket hape"

"Oh... aku pikir, kamu ngehindarin aku."

Deg..

Aku tidak mungkin mengiyakan, bukan?

"Nggak kok" ujar ku singkat, seolah memang tak ada apa-apa padahal aku jelas tak menemukan kalimat lain yang bagus.

"Tapi kamu baca semua sms ku, kan?" tanya Levi lagi.

"Iyalah..." aku lagi-lagi berusaha menjawab seolah tak ada sesuatu yang menyesaki benakku dan mendebarkan dada ku dengan tak karuan. Aku terus mencoba memfokuskan perhatianku pada deretan angka yang sedang aku salin dari tulisan Levi, namun... gagal. Aku malah teringat pada setiap sms yang dikirimkan Levi waktu itu. Terus terang aku membacanya sampai berkali-kali hingga beberapa ada yang masih melekat di benakku.

//makasih buat malem ini. aku janji mau lebih ngertiin kamu. makasih buat ciumannya, that's explain everything. let's give it more try. i love u//

Mendadak, aku merasakan wajahku sedikit memanas. Oh shit, mengingat salah satu sms Levi, pasti sudah membuat wajahku memerah. Aku pura-pura menolehkan wajahku keluar jendela, menghindari tatapan Levi yang bisa aku rasakan masih melekat padaku. Jangan sampai dia melihat wajahku yang sedang memerah.

IF I LOVE YOU TOO?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang