IV. Error

45.3K 2.7K 137
                                    

Tawa Levi memenuhi seisi lapangan basket yang sepi ini, begitu untuk ketiga kalinya aku gagal menembakkan three-point ke ring. Tak biasanya, bola ku meleset terus. Tadi beberapa kali nyaris masuk, namun malah gagal. Aku menekuk bibirku sebal, sambil membawa bola ku ke dekat Levi yang sedang duduk bersila di pinggir lapangan. Hari Minggu pagi ini, kami memang sedang berada di lapangan basket yang ada di kompleks perumahan dimana Levi tinggal. Lapangan Basket ini tampak selalu sepi, karena kebanyakan penghuni rumahnya memang jarang tinggal disini. Kebiasaan komplek perumahan elit.

“Gara-gara elo nih.” ujarku  sambil duduk dan menselonjorkan kaki ku.

“Kok nyalahin aku?” protes levi.

“Biasanya kalo gak ada lo, three-point gue gak pernah ada yang meleset tau.” Sahutku sambil agak mendelikkan mata ku padanya.

Levi malah tertawa lagi, lalu mengambil handuk dari tas ku. Dia mengusapkannya ke keningku, tanpa ku minta.

“Kamu kayaknya grogi, ya Niel?” godanya tiba-tiba.

Aku menoleh padanya memberikan tatapan sebal, tapi Levi malah semakin tersenyum lebar.

“Iya kan? Grogi karena aku temenin...?” dia makin menjadi.

Aku menjulurkan lidahku, meledeknya. Levi membalas dengan menepuk-nepuk perlahan handuk ke muka ku, aku mengambl handuk itu dari tangannya lalu mengelap sendiri keringatku.

“Niel, aku boleh nanya gak?” kata Levi.

“Apa?” sahutku sambil menusap mulutku dengan punggung tangan.

“Kemarin di kampus... kamu ngobrol apa sama Dara?” tanya Levi dengan suara agak ragu.

Dia mungkin sebenarnya tak mau menanyakan itu karena takut terdengar seperti sedang mencurigaiku. Tapi aku tak bisa menyalahkan dia juga, karena seharian kemarin Dara memang tak biasanya, sama sekali tak mau lepas dari sampingku. Lagipula, Levi pun sudah mengakui kalau ia cemburu pada teman baik ku itu.

“Uhm.. biasa aja.” Jawabku sekenanya.

“Biasa gimana?”

“Yah, dia cuma curhat aja sama gue...”

“Curhat apa?”

“Ya banyak.”

“Contohnya?”

Aku memandang Levi agak lekat. Dia sepertinya sungguh sangat ingin tau dengan apa saja yang sudah aku bicarakan dengan Dara. Dia tidak main-main.

“Oh.. maaf, aku bukan mau ijut campur...” kata Levi lagi, begitu tersadar kalau aku malah memberinya tatapan saja.

“Harus segitunya ya Lev?” aku malah bertanya. “Dara beneran cuma curhat biasa kok.”

“Iya maaf, aku cuma gak enak perasaan.” Katanya jujur.

Dia tampak tak mau memperpanjang setelah aku bereaksi seperti itu. Aku lagi-lagi tak bisa menyalahkan karena aku juga tak tahu kalau misalnya Levi punya insting atau apapun itu tentang keakrabanku dengan Dara- yang sebenarnya sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya. Aku memang mengira kalau Dara bisa saja menyimpan perasaan padaku, tapi aku juga tak mau menanggapi  dengan serius karena pada kenyataannya aku dan dia jelas tak mungkin. Aku pernah bilang bukan,  kalau aku tak terbiasa menjalin hubungan yang lebih dengan seseorang yang sudah menjadi sahabat bahkan sudah kuanggap adik sendiri. Aku mengacak-acak rambut spike-ku yang agak basah oleh keringat, sambil melihat pada Levi yang sudah mengalihkan lagi perhatian pada buku dipangkuannya.

“Tenang aja, kalo dia macem-macem...gue juga pasti bilang sama lo.” Kataku akhirnya mencoba menenangkannya. Levi balas melihat kearahku, kemudian tersenyum tipis.

IF I LOVE YOU TOO?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang