Pukul 7 hanya tinggal 15 menit lagi, tapi aku sama sekali belum bersiap. Aku masih dengan kaus oblong dan celana boxerku. Aku berbaring di sofa di depan televisi, memainkan remote. memindah-mindahkan channel, sementara pikiranku tidak ada disana. Aku jelas tidak lupa dengan janjiku pada Levi beberapa yang hari lalu tentang acara menonton (baca:kencan) kami malam ini, tapi masalahnya, mendadak saja aku seperti disadarkan. Aku seolah menolak untuk pergi, mengutuki diriku sendiri kenapa mau-mau nya membuat janji dengan seorang laki-laki untuk berkencan di malam minggu. Am I that desperate? Apa aku sangat menyedihkan sampai benar-benar harus keluar malam minggu dengan cowok walau secara sadar aku tahu kalau Levi bukan cowok biasa. Dia orang yang sudah aku akui sendiri sebagai pacar ku. Ini gila, tapi kenapa aku baru menyadarinya. Lalu yang kemarin-kemarin itu, di kampus – apa yang sudah aku lakukan?!
"Ck!" aku berdecak keras sambil melempar remote ke atas bantal besar di bawah. Aku kemudian mengambil bantal yang menyangga kepalaku dan menutupkannya ke wajahku. Aku bingung. Diantara ingin dan tak ingin.
"Kenapa sih lu?!" sebuah bantal terasa terlempar lagi ke wajahku. Aku cepat menyingkirkannya dan melihat senyum meledek dari wajah mbak Lidya.
Mbak Lidya adalah kakak sepupu ku, yang tinggal bersama ku di Bandung. Orang tua dan dua adik perempuanku memang tinggal di Jakarta, lalu karena kebetulan Mbak Lidya juga mendapat pekerjaan di Bandung, akhirnya kami disuruh tinggal bersama di sebuah rumah yang dulu pernah dibeli oleh orang tua ku ini. Ibu ku bilang tidak bisa mempercayaiku kalau aku tinggal sendiri, padahal usia ku sudah menginjak 20 tahun dan aku juga seorang laki-laki tapi bagi ibu ku, aku adalah manusia paling ceroboh sedunia dan selalu membuatnya khawatir. Kalau menurutku, ibu paling terlalu sayang pada putera satu-satunya yang super tampan ini.
"Apa sih mbak?!" gerutuku sambil membetulkan posisi ku dan duduk disana.
"Gue perhatiin, lu itu ribet sendiri tau dari tadi" ujar Mbak Lidya sambil tersenyum lucu. Dia mengambil remote yang tadi aku lempar ke atas bantal besar dibawah, lalu mulai. memindah-mindahkan channel tivi juga.
"Mbak gak kemana-mana?" tanyaku, tak menggubris ucapannya barusan.
"Nggak" jawab Lidya, tanpa melepaskan matanya dari layar tivi.
"Emang gak akan jalan sama Mas Tyo?"
"Tyo sama anak-anak kantor mau kesini, kita mau barbeque-an. Lu gak kemana-mana kan?"
Mbak Lidya akhirnya menoleh ke arahku.
"Wah bakalan rame dong rumah..." komentar ku.
"Iya makanya, lu gak usah kemana-mana, ikutan makan-makan" Mbak Lidya tersenyum manis, tampak sekali berusaha membujukku – tapi aku cepat tersenyum kecut. Aku tahu dia punya maksud apa.
"Ah Mbak sih gak pengen gue pergi biar bisa disuruh jadi tukang manggang" cetusku.
Senyum Mbak Lidya jadi terlihat lebih malu.
"Eh tapi kan kita seneng-seneng bareng, Niel" katanya, ngeles.
Aku menghela nafas, dan terpaku begitu melihat jarum panjang jam dinding yang terpasang di tembok atas di belakang televisi, sudah menunjukkan angka 6. Pukul 7 lewat 30 menit. Aku sudah telat setengah jam dari waktu yang dijanjikan dengan Levi. Dadaku berdebar kencang, aku makin tak karuan.
Apa aku lebih baik benar-benar tak pergi dan menjebak diriku bersama teman-teman kantor Mbak Lidya... lagi? Sudah beberapa bulan ini, malam minggu ku memang hanya di isi dengan acara barbeque bersama teman-teman kakak sepupu ku, bermain komputer sendiri dikamar, atau sekedar hang-out bersama anak-anak basket.
NO DATE ANYMORE YET.
Dan sekarang kesempatan itu baru datang lagi, walau bersama Levi. Astaga, kenapa aku jadi rumit begini, padahal seminggu yang lalu aku sendiri yang mau – aku sendiri yang sudah menyerahkan diri untuk mencoba menjalin hubungan dengan seorang cowok. Aku pun berdiri dari duduk ku, dan melempar bantal ke atas sofa. Mbak Lidya memandangku bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I LOVE YOU TOO?
Romance❌Cerita repost bertema gay ❌Writer : @rieyo626 ❌Homophobic diharap menjauh