"Ifa udah membaik, demamnya juga turun, suhu badannya udah stabil!" Teriak Dini girang menghampiri kami.
"Syukurlah. Lihat bu, Ki Jono memang top banget kan? Sakti mandraguna!" Girang bapak mertuaku ke arah istrinya.
Ibu mertuaku mengangguk cepat, ada senyum di wajah semua orang, termasuk mas Hari.
Sedangkan aku melemparkan senyum kepada Ifa, kami saling mengedipkan matanya ke arahku.Mereka tidak tau saja, Ifa sembuh bukan karena Ki Jono, melainkan karena Allah melalui perantara obat yang sudah aku berikan secara diam-diam.
*
"Mas bilang apa kan, Dek? Ki Jono itu orang sakti. Dia bisa nyembuhin orang banyak, termasuk ngobatin Ifa.
Lihat kan Dek? Panas Ifa berangsur turun, ini semua karena bantuan dari ki Jono.
Dia nggak bohong kalo ada yang gangguin Ifa belakangan ini, jadinya Ifa jatuh dari sepeda dan sakit.""T e r u s?" Jawabku malas.
"Kemarin kan kamu kaya nggak percaya sama perkataannya Mas.
Kamu mau meragukan kesaktian ki Jono lagi, Dek?" Kata mas Hari, membuatku semakin malas menanggapinya."Maaf mas, itu bukan karena ki Jono, tapi karena Allah!"
"Tapi melalui perantara ki Jono, Dek!" Kekehnya tak mau kalah.
Aku menghembuskan nafas kasar.
"Sudah ah Mas, aku nggak mau debat lagi. Aku harap, semoga kamu cepet dapat hidayah.
Semoga kamu bisa menjadi imam yang baik, yang bisa menjadi penuntunku, bukan malah menyesatkan istri dan anak kita kelak!" Kataku sembari meninggalkannya.🍁
BEBERAPA HARI KEMUDIAN
Seperti biasa Ifa dan Radit di rumah bersamaku.
Karena jenuh di dalam rumah terus menerus, aku mengajak mereka keluar rumah hanya sekedar jalan-jalan keliling kampung dengan sepeda motor.Di tengah jalan, kami turun memberi jajan untuk Ifa dan Radit di warung pinggir jalan.
Kebetulan ada sesuatu yang akan ku beli untuk kebutuhan dapur yang sudah habis."Habis dari mana, Neng?" Tanya pemilik warung sangat ramah.
Banyak sekali ibu, yang juga sedang berkumpul di depan warung. Mereka semua melempar senyum padaku.
"Enggak dari mana-mana, jenuh di rumah Bu. Jadi saya ajak anak-anak keluar," Jawabku.
"Tante, pulangnya nanti ya.
Kita mau main dulu sama si Cahya." Rengek Ifa."Iya sudah nggak apa-apa, tante tunggu disini," Jawabku pada Ifa. Kemudian mereka menghampiri anak kecil bernama 'Cahya' itu.
"Main atuh kemari kalau lagi di sini, Neng!" Kata salah satu Ibu, sambil mempersilahkanku untuk duduk di sebelahnya.
Memang dari pertama kali aku menginjak kampung ini, belum pernah sekalipun aku keluar rumah sampao sejauh ini, apalagi berkumpul dengan mereka.
"Oh iya, udah berapa bulan usia kandunganm kamu?" Tanya ibu yang lainnya.
"Lima bulan, Bu."
"Wah sebentar lagi jadi Ibu ya, padahal masih kelihatan muda banget. Masih kinyis-kinyis, unyu. Hehe!" Sambung Ibu warung memuji.
Aku hanya tersenyum menanggapi mereka yang semakin lama, semakin asik saja.
Mereka mengobrol layaknya sudah kenal lama denganku, bahkan mereka terang-terangan memintaku agar bersabar, karena sikap dan perlakuan keluarga suamiku.
Atas pengakuan mereka, Ibu mertuaku selalu menceritakan keburukanku dan menjelek-jelekan namaku di hadapan orang banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKUT ORANG MATI?
Non-Fiction"Kenapa kita harus sembunyi, ketika mendengar kabar orang meninggal?" "Takut!" "Apa yang perlu di takutkan? Bukankah kita semua juga akan meninggal?" "Sudah jangan membantah!" 🍁Kisah perempuan kota bernama Gina, yang tinggal di kampung suaminya. ...