Aku hanya mengintip sedikit di salah satu sisi tirai, tidak ada siapapun di luar jendela.
Bahkan suasana sepi, sunyi, senyap dan tentunya gelap gulita, di tambah lagi dengan turunnya rintikan air hujan yang terdengar gemercik.Hanya ada persawahan yang bisa di jangkau oleh mata, karena sorotan dari lampu luar rumah.
Aku berbalik arah, merebahkan badan di dekat Ifa dan Radit.
Namun sesaat kemudian jendela kamar di gedor kembali. Dari yang awalnya hanya di ketuk dengan pelan, kali ini di gedor dengan sangat keras.Aku beranjak mengambil tongkat besi yang tersimpan di bawah ranjang. Sepertinya aku memang harus berani turun dan melihat ada apa di sana. Sebenarnya siapa yang mengganggu tidurku tengah malam begini?
Semoga saja, dia bukan orang jahat, yang akan membahayakan kami.Tanpa waktu lama, aku langsung menyingkap tirai horden lebar-lebar dengan cepat dan mengarahkan senter ke segala penjuru luar jendela. Sementara tongkat besi masih ada di genggaman tanganku untuk berjaga-jaga.
"Cari apa, Mbak?" Suara dari seseorang yang tiba-tiba muncul dari balik kaca jendela.
Spontan aku langsung menjerit, berlari menghampiri Ifa dan Radit.
Sampai-sampai aku lupa menutup kembali horden jendela kamar, hingga sosok itu terlihat sangat jelas.Perlahan seseorang itu menjauh sampai tak terlihat, lalu mendekat kembali dalam beberapa detik.
Dia membentur-benturkan kepalanya dengan sangat keras ke arah kaca jendela berulang kali, hingga bercucuran darah di wajahnya.Sesaat kepala itu tersenyum menyeringai, matanya memutih sempurna.
Aku memejamkan kedua bola mataku, berharap ini hanyalah mimpi. Namun kemudian anak-anak mulai terbangun,"Ada apa tante?" Ucap Ifa mengucek kedua matanya. Ia mendapati tanganku yang sedang memeluknya dengan erat.
Aku diam belum bisa menjawab, lidahku terasa kelu.
"Tante Gina kenapa?" Tanya Radit kemudian.
Aku hanya menggeleng dan mencoba mengatur nafas yang tersendat.
"Tan, kok horden sama jendelanya dibuka? Kan ini masih malam," Tanya Ifa mengacungkan telunjuknya ke arah jendela.
Aku belum berani menoleh ke arah jendela, karena sosok itu masih terbayang jelas di ingatanku.Tunggu, .... Ifa bilang terbuka??
Ifa bilang kalau jendelanya terbuka?
Padahal aku sama sekali tidak membuka kunci jendela!"Biar Radit saja yang menutupnya."
Radit turun dari ranjang, namun aku berusaha menahannya. "Jangan, Dit. Ayo kita pindah ke kamar kamu saja!" Ucapku terbata-bata sembari mengajak mereka keluar dari kamar.
Aku langsung menuntun keduanya pindah ke kamar Radit.
Entahlah! Aku tau, sebenarnya aku sudah berbuat tidak sopan dan lancang, karena kamar pribadi itu adalah privasi bagi setiap orang, tentunya nggak sembarang orang di perbolehkan masuk ke dalamnya.Tapi apa boleh buat? Untuk sekarang ini aku lebih mengedepankan keselamatan.
Berjalan dengan langkah patah-patah, kedua mata mengawasi seluruh ruangan. Berharap kejadian tadi tidak pernah terulang lagi.
"Sayang, tante Gina izin mau ke kamar mandi dulu ya, kalian tunggu di sini. Jangan kemana-mana,
"Ifa dan Radit kompak mengangguk, setelah ku perintahkan mereka agar tetap menunggu di luar pintu kamar mandi.
Aku bergegas masuk, bersegera mengambil air wudhu dan, ------
KRIETTTTTTTTT
Pintu kamar mandi perlahan tertutup sempurna.
Secepat kilat, aku langsung menahan pintu dan mencoba keluar dengan sorot mata tajam, mencari Ifa dan Radit yang sudah tak ku temui di depan pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKUT ORANG MATI?
Literatura faktu"Kenapa kita harus sembunyi, ketika mendengar kabar orang meninggal?" "Takut!" "Apa yang perlu di takutkan? Bukankah kita semua juga akan meninggal?" "Sudah jangan membantah!" 🍁Kisah perempuan kota bernama Gina, yang tinggal di kampung suaminya. ...