"Dek, kamu belum tidur?"
Mas Hari masuk ke dalam kamar memeriksaku.
Sebenarnya aku juga sudah tau apa yang akan suamiku katakan.
Sudah pasti aku harus rela menunda kepulanganku besok, padahal semuanya sudah selesai aku kemas.
Ternyata rencana tidak sesuai dengan kenyatan."Keadaan Ibu masih sama, Dek. Sepertinya kita nggak jadi pulang besok. Mas mau nunggu Ibu sembuh dulu, biar nggak kepikiran.
Kamu nggak keberatan kan?"Aku hanya menggeleng.
Mau tidak mau, aku harus mengikuti apa yang suamiku katakan.
Entah seperti apapun mereka, Ibunya tetap ku anggap seperti Ibuku sendiri.
Aku juga tidak akan meminta mas Hari agar tetap pulang ke kota, di saat Ibunya sedang dalam keadaan sakit begini.Akhirnya kepulanganku di tunda lagi dan lagi.
•••
Seperti biasa ku ajak Ifa dan Radit pergi ke warung untuk membeli jajan dan kebutuhan dapur yang sudah mulai habis.
Para ibu berkumpul di teras rumahnya masing-masing, di sepanjang jalan mereka menawariku agar singgah ke rumahnya sebentar untuk melepas jenuh, karena di rumah terus menerus.
"Singgah dulu atuh, Neng," Kata salah satu Ibu.
"Ifa, Radit, sini main!" Teriak Cahya.
Akhirnya mereka berlari menghampiri Cahya, sementara aku duduk tak jauh dari mereka sembari mengawasi keduanya.
Ibu yang lain langsung mendekat, duduk lesehan di sebelahku."Neng, gimana kabarnya? Sehat kan?" Tanya salah satu Ibu mengulurkan tangannya.
"Alhamdulillah Bu, sehat."
"Mau hari raya di sini ya?" Tanya Ibu yang lain.
Aku mengangguk, "Iya, Bu. Niatnya hari ini pulang, tapi Ibu sedang sakit, makanya di undur lagi," Tuturku.
"Sakit apa, Neng? Kami sama sekali nggak tau,"
"Demam sama sesek, sampe Ibu lemas," Jawabku apa adanya.
"Lho kenapa nggak di bawa ke dokter atau rumah sakit?" Tanya Ibu itu lagi.
"Halah, kamu mah kaya nggak tau aja, keluarga Hari kan aneh.
Selain takut orang m a t i, mereka juga takut sama rumah sakit, takut minum obat dengan alasan, takut nanti jadi kebiasaan.""Rumah sakit kan bekas tempat banyak orang mati!" Cerocos Ibu itu puas menyindir Ibu mertua.
"H u s t!"
Salah satu Ibu menyikutnya, semua pndang saling mengedipkan mata ke arah ibu tadi.
Aku terkekeh kecil, mungkin mereka takut kalau aku akan tersinggung."Aku sudah tau kok, Bu. Tenang saja, nggak bakalan tersinggung, kan emang kenyataanya begitu." Jawabku.
Ibu itu menanggapiku dengan senyuman kecut.
"Ya sudah kami doakan semoga ibu mertuanya neng Gina cepet sembuh, ya."
"Aamiin, terimakasih doa baiknya Bu."
Setelah lumayan lama, aku mengajak ifa dan Radit untuk pulang ke rumah.
Tak enak rasanya meninggalkan rumah berlama-lama.*
Sesampainya aku di kejutkan dengan suara bapak mertuaku di ruang depan, ia sedang berusaha memapah Ibu.
Saat ini Ibu terlihat sangat lemas parah, kesulitan bernafas, tangannya gemetar, badannya panda sekali.
Wajah yang biasanya segar bugar kini berubah menjadi pucat pasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAKUT ORANG MATI?
Non-Fiction"Kenapa kita harus sembunyi, ketika mendengar kabar orang meninggal?" "Takut!" "Apa yang perlu di takutkan? Bukankah kita semua juga akan meninggal?" "Sudah jangan membantah!" 🍁Kisah perempuan kota bernama Gina, yang tinggal di kampung suaminya. ...