"Kau selesai membacanya?""Emm...sangat seru. Alur ceritanya sedikit membingungkan tapi melihat puncak konflik benar-benar mengaggumkan"
"Aku sudah mengatakannya. Ya sudah ayo naik!. Bukankah kau juga ingin ke cafe terbaru dekat perpustakaan kota?"
Rose segera naik ke atas motor V. Hari libur kali ini mereka berdua akan kembali ke perpustakaan kota guna mengembalika buku yang minggu lalu di pinjam.
Rose minikmati perjalanan dengan hiruk piruk kota yang ramai damai. Begitupun dengan V yang senyumannya tidak pernah luntur. Merasa bahagia setelah bisa bersama dengan wanita yang tengah ia boncengi. Pegangan erat Rose pada pinggangnya tak pernah lepas sejak pertama. Dilirknya sekejap wajah Rose melalui pantulan kaca spion motor. Tidak bisa di sangkap paras cantik seorang Roseanne. Berkat wanita itu pula, kini dirinya jadi lebih percaya diri. Bahkan sekarang dirinya menjadi siswa yang lebih aktif dari sebelumnya. Sesaat setalah pertandingan basket pada waktu itu, malamnya ponselnya banjir notifaksi di berbagai media sosialnya. Sungguh luar biasa, akun instagram yang awalnya sepi tidak ada pengikut namun kini pengikutnya sudah mencapai 10k. Ini adalah hal yang cukup tidak bisa ia sangka kehadirannya. Berbagai pesan masuk dari yang mulai berkenalan mengucapkan selamat ataupun yang di rasa sok kenal juga masuk. V tahu, karena orang yang sok kenal iti dulunya menghindari bahkan merendahkan dirinya. Namun lihatlah sekarang dengan gelagatnya yang seperti sudah akrab sangat lama. Tidak semua pesan ia baca. Bukan karena apa, namun memang belum sempat karena memang saking ramainya. V terkadang merasa berbangga diri. Namun kembali teringat dalam diri, bahwa fisik dan tampanglah yang mereka fokuskan. Pesan ungkapan cinta juga ia dapatkan. Tidak hanya satu ataupun dua saja. Melainkan lebih dari itu. Namun V akan menolaknya dengan halus. Walau bagaimanapun ia harus tetap menjaga perasaan orang. Ia juga tak ingin gegabah dan berbangga diri tinggi atas keadaan saat ini.
Hari terus berjalan, sama dengan hubungan ke dua orang itu yang makin hari makin lebih dekat saja. Tentu masih dengan kewarasan yang dimiliki, mereka tak akan keluar jalur yang salah dengan melakukan tindakan yang tidak baik. Akan hal itu, sampai sekarang ini tidak ada yang mengetahui hubungan spesial yang mereka miliki. Mereka menyembunyikannya dengan hebat.
Mungkin...
"Kau tak waras Jas?"
Jason tak menjawab pertanyaan Bagas. Dirinya hanya fokus pada kegiatan menggiring bola basketnya.
"Apa yang kau katakan...Kau gila!"
"Aku waras bodoh!"
"Lalu apa yang kau katakan akan berhenti menjadi kapten tim?. Kau gila!?"
Bagas mendengar segelintir keputusan Jason dari teman tim-nya. Awalnya dia hanya menerka mungkin mereka salah mendengar atau apalah. Namun saat tadi menanyakannya dia malah mendapat deheman. Ya mungkin akan setuju jika jawaban dari Jason adalah 'iya'.
Jason menghela nafas berat sebelum akhirnya melempar bola oren itu dengan kasar ke dalam ring sana. Dirinya kini beranjak mengambil tas dan pergi berlalu meninggalkan Bagas yang masih berdiri. Rasanya Bagas bak angin koson.
"Ya!, kau meninggalkan ku?!. Jas! Jason!", Bagas berlari mengejar Jason yang sudah pergi.
Bagas terus mengikuti hingga ke parkiran. Sepanjang perjalanan ia terus menanyakan alasan di balik keputusan temannya itu. Namun dia hanya diam bahkan tak meliriknya sedikitpun. Entahla...Jason harap ia tak salah mengambil keputusan.
🌟
"Bagaimana?"
"Aku akan ke sini lagi lain kali. Tak mengecewakan"
Mereka berdua tengah menikmati waktu sore di lantai dia cafe yang mereka bicarakan sebelumnya. Suasan cafe yang tenang dan nyaman menjadikan mereka sedari tadi belum beranjak dari sana.
"Rose..."
Rose yang mendengar namanya di sebut langsung menatap V.
"Terima kasih"
"Terima kasih untuk apa?"
"Kau sudah menerimaku"
Rose mengehal nafas pelan. "Apa yang kau katakan. Sudah berapa kali kau mengatakannya. Akan sama jawabanku"
"Entahlah. Rasanya aku benar-benar tak menyangka sampai pada titik ini. Ya...hubungan kita"
Rose mengambil tangan V dan mengusapnya lembut.
"Aku juga tak menyangka dengan sekarang. Tapi inilah keadaannya. Bukankah takdir benar-benar mengejutkan?"
"Apa yang membuatmu menyukaiku?"
Rose menunjukan tampang berikirnya namun setelah itu ia langsung tersenyum.
"Rahasia. Biar aku dan Tuhan yang tahu", jedanya. "Sekarang giliranku. Kenapa kau menyukaiku?"
"Entah"
"Entah?. Berarti kau menjalin hubungan denganku tak ada artinya?. Eyyy ayolahhh..."
"Baik, cantik, kau sempurna..."
"Berhentilah!"
"Lihatlah mukamu memerah. Kenapa?, kau tersipu?", goda V dan jangan lupakan senyum kotaknya. Rose makin salah tingkah saja. Rose berusaha menutupi wajah dengan telapak tangannya. Namun V malah menahan kedua tangan Rose. Alhasil wanita itu hanya menunduk.
Mereka yang tengah berada pada suasana bahagia berbeda dengan seorang pria yang menatap nanar keluar jendela sana. Menghela nafas berat. Bayang-bayang kejadian kebersamaannya dengan wanita si pemilik kamar yang kini tengah menjadi objek pandangannya kembali berputar. Rasanya hanya sekejap keadaan seperti berubah dalam hidupnya. Walaupun kabar itu belum muncul kepermukaan umum namun Jason tahu yang terjadi antara kedua orang itu. Apa yang ia amati selama ini bukankah menguatkan bagaimana status mereka sekarang.
Jason merasa kehilangan satu orang yang benar-benar menjadi salah satu pengisi hidupnya sekarang. Jujur saja waktunya dengan Ross rasanya berkurang. Namun sadar diri ini juga salahnya yang memang sengaja untuk menghindar dari wanita itu.
Masih dengan keterfokusannya pada area kamar Rose yang memang berada tepat di seberang kamarnya tanpa di sadar kini penghuni kamar itu sudah kembali. Lampu kamar sudah dinyalakan. Tepat saat Rose berada di jendela, wanita itu sadar dirinya tengah menatapnya namun dalam sekejap Jeka langsung menutup tirai korden miliknya.
Rose yang sadar dengan sikap Jason yang berubah hanya menghela nafas berat. Mengulum bibir bawahnya, mencoba untuk berpikir alasan di balik keberubahan sikap sahabatnya itu.
Apa...Jason tahu?, batinnya
Setelah menutup kordennya Jeka langsung duduk di tepi ranjangnya. Namun tiba-tiba kepalanya kembali merasakan pusing yang hebat. Ya ini bukan sekali saja. Dengan segala kekuatan yang ada ia pergi menuju laci nakas untuk mengambil obat dan meminumnya. Menutup mata rapat dengan jari-jari yang terus meremat rambut dengan kuat.
Mengambil nafas dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Rasa sakit di kepala berangsur mereda walaupun masih ada rasa sakit itu.
Jason benar-benar tak menginginkan ini terjadi.