Tanah merah yang menggunung itu masih basah. Taburan bunga yang menyebar menutupi permukaannya masih sangat segar. Para pelayat mulai meninggalkan tempat pemakaman. Tinggal dua orang laki-laki yang belum beranjak meninggalkan tempat itu. Salah satu di antaranya seorang bocah berusia delapan tahun, tampak lebih terpukul dari siapa pun. Ia menangis terisak-isak, meremas tanah kuburan. Memanggil-manggil sosok yang sudah terpendam menjadi jasad.
"Axel, Ayo kita pulang," bujuk Jeno pada putra semata wayangnya.
"Aku gak mau pulang, aku mau di sini, Pa!"
"Lihat, langit sudah gelap, sebentar lagi hujan!"
"Gak mau!"
Jeno menarik lengan Axel dari belakang. "Jangan keras kepala, Axel. Ayo kita pulang, Mamamu sudah di rumah."
"Wanita itu bukan Mamaku, aku benci dia!" Axel menghentak lengan sang Papa sampai terlepas. Bocah itu lari sekencang-kencangnya.
"Axel!" teriak Jeno, mengejar Axel yang berlari semakin kencang.
Jeno kehilangan jejak Axel. Netranya mengedar ke sekeliling, tak nampak jua bocah lelaki itu di antara ribuan batu nisan pemakaman umum tersebut.
Sementara itu Axel kebingungan dengan keberadaannya sekarang ini, ia sama sekali tidak mengenali tempat sekelilingnya. "Aku di mana? Huaaa.... Papa...." Axel menangis ketakutan seorang diri.
Titik-titik air hujan berjatuhan dari langit, menerpa wajah mungilnya.
Tak jauh dari tempat Axel berada, seorang wanita muda merogoh payung lipat dari tasnya. Payung hitam melindunginya dari rintik hujan. Ia berlari kecil menghampiri Axel, berjongkok di sampingnya. Merasakan ada seseorang di sampingnya, bocah itu berhenti menangis, menoleh pada wanita itu.
"Adik kecil, jangn diam di sini. Ayo kita berteduh!"
Entah kenapa Axel menurut begitu saja pada wanita asing itu. Si wanita membawa Axel ke sebuah saung bambu pinggir jalan.
Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas tangannya, sebuah sapu tangan. "Kamu bisa kena flu kalau tidak cepat dikeringkan."
Axel hanya diam, membiarkan wanita itu sibuk mengeringkan rambut dan pakaiannya.
"Namamu siapa?"
"Axel," jawab sang bocah masih menunduk dengan sisa-sisa isakan tangis.
"Kamu sedang apa di tempat seperti ini sendirian?" tanya si wanita dengan nada perhatian.
"Bi Surti...."
"Siapa Bi Surti?"
"Dia, dia yang mengasuhku dari bayi. Bi Surti meninggal, dia dikuburkan di sini." Axel kembali menangis karena teringat dengan yang membuatnya sedih.
"Lalu, orangtuamu di mana?"
Untuk pertanyaan yang satu itu Axel tidak menjawab.
Karina mengusap rambut hitam Axel yang sedikit basah. "Kamu harus pulang. Sudah hampir gelap. Di mana rumahmu, biar Kakak antar kamu pulang," bujuk Karina lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel Beside Me
FanfictionJeno Albert Simamora seorang pesepakbola muda berbakat, terpaksa menikahi Jessica, sepupu jauhnya yang usianya jauh lebih tua karena dijodohkan orangtua mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pernikahannya dengan Jessica tidak berjalan bahagia. S...