Karina menghirup uap ramen yang baru saja matang. Makanan berkuah itu disajikan di atas meja. Sumpit di tangan sudah siap, namun mulut yang sudah terbuka ingin melahap makan malamnya terhenti karena kedatangan Jeno.
Sikapnya aneh. Jangankan menyapa atau tersenyum, melirik pun tidak. Jeno menarik kursi, duduk berseberangan dengan Karina.
Alih-alih menghiraukan sikap lelaki itu, Karina lebih penasaran kenapa wajahnya babak belur.
Karena terdesak rasa lapar, Karina mulai melahap ramennya.
Aroma ramen yang sedang dimakan Karina, membuat Jeno tergiur menelan liur. Ia hanya menonton Karina yang sedang makan begitu nikmatnya. Sampai akhirnya Karina beranjak dari duduknya untuk mengambil air minum. Selagi panci berisi ramen yang tinggal setengah itu ditinggal empunya, Jeno menarik pancinya, gantian melahapnya. Meskipun sudut bibirnya sedikit bengkak, Jeno tetap memaksakan memakannya.
Begitu kembali ke meja dengan segelas air di tangan, Karina terbengong, panci ramennya sudah dikuasai Jeno.
Karina mendesah pasrah. Kembali duduk di tempatnya semula. "Kalau mau, aku bisa buatkan lagi," tawar Karina.
"Tidak perlu, yang ini lebih enak." Makan di panci yang sama dengan 'ayang' tentu lebih enak, karena ada manis-manisnya.
Beberapa menit kemudian, ramen dalam panci habis tak bersisa, berikut kuahnya.
"Ahhh, ini ramen paling enak yang pernah kumakan." Jeno tersenyum puas, kekesalannya sedikit terobati.
"Kak Karina! Ayunannya udah jadi!" Axel datang ke dapur, memberi tahu Karina bahwa ayunan yang dipasang sedari tadi siang oleh Ajat, sudah rampung.
"Wah, benarkah?"
"Iya, tapi belom bisa dipake. Kata Mang Ajat, nunggu coran tiangnya kering dulu, biar kuat."
"Mungkin besok udah bisa."
Axel mengangguk. "Nanti kita gantian mainnya, ya."'
"Papa ga diajak?" Jeno nimbrung obrolan Karina dan anak semata wayangnya.
"Boleh." Tiba-tiba senyum di bibir Axel memudar, ketika menyadari wajah sang papa babak belur. "Papa kenapa?"
"Apanya?" Jeno tak mengerti maksud pertanyaan anaknya.
"Muka Papa kok memar-memar gitu?"
"Oh, ini. Tadi, waktu latihan, Papa jatuh."
"Sakit, ngga?"
Jeno menggeleng tegas. "Engga. Ini sih bukan apa-apa." Jeno mengencangkan otot-otot lengannya, menekuk 90°. "Lihat! Malu dong sama otot kalau cengeng."
Karina jelas tidak percaya dengan ucapan Jeno, dia bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Ia tahu, memar-memar di wajah Jeno bukan bekas jatuh, melainkan akibat pukulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angel Beside Me
FanfictionJeno Albert Simamora seorang pesepakbola muda berbakat, terpaksa menikahi Jessica, sepupu jauhnya yang usianya jauh lebih tua karena dijodohkan orangtua mereka. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, pernikahannya dengan Jessica tidak berjalan bahagia. S...