SEMBILAN

15.9K 1.2K 105
                                    

Pukul tiga dini hari, siswa-siswi SMA Tangkas perlahan menuju puncak, atau istilahnya summit. Jalanan yang tidak selalu mulus itu mereka lalui.

Tidak selalu lancar, ada kalanya mereka mengistirahatkan rasa pegal dan penatnya.

Seperti sekarang ini, Cakka, Gerald, Orion dan Nial sedang duduk ditepi jalanan menuju puncak.

"Minta air punya lo dong, Ger. Air gue ketinggalan ditenda," ujar Orion dengan lelah.

Gerald mendecak, "Kebiasaan. Abis ini apa lagi yang ketinggalan? Celana kolor kuda poni lo?"

Namun, Gerald tetap memberikan air miliknya.

Nial yang sedang merokok itu pun terkekeh sinis menyindir Orion. "Kolor kok kuda poni,"

"Cowok kok ngerokok. Kaya engga, penyakitan iya." Orion terkekeh sinis menyindir Nial.

"Sorry, gue udah kaya dari lahir."

Nial memadamkan puntung rokok dengan ia injak-injak sampai benar-benar padam seluruhnya.

Orion memutar bola matanya malas. "Ih, sombong amat!"

Gerald menggelengkan kepalanya sambil tertawa. "Lo mending diem, Or. Kalah lo ngomong sama Nial."

"Mana demen banget emosi lagi," ujar Orion. Nial hanya acuh.

Sedangkan, Cakka sedari tadi juga sama seperti Nial ; merokok. Dan cowok itu hanya diam.

"Lo kenapa, sih? LMS?" tanya Nial pada Cakka.

Cakka memadamkan rokoknya sambil menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Laki-laki Menjadi Singa," ujar Nial.

"Anj--"

Mulut Orion dibekap oleh Gerald sebelum cowok itu menyudahi ucapannya.

"Hutan," ujar Cakka santai. Ia berjalan terlebih dahulu, meninggalkan teman-temannya.

"Mulut gue, astaga Gerald. Lo kenapa, sih?" Orion berusaha menghirup napas sebanyak-banyaknya.

Nial sudah berlalu mengikuti langkah Cakka.

"Susah, ngomong sama orang yang jawabannya hah hoh hah hoh." Gerald berjalan meninggalkan Orion sendirian.

----

Setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Seperti sekarang ini, seorang wanita dewasa dengan pakaian serba hitam, lengkap dengan kacamata hitamnya. Langkah kaki jenjangnya mulai berjalan memasuki area pemakaman.

Perlahan, wanita itu jongkok disamping makam tersebut.

"Hai anak Mama! Lagi apa nih di sana?"

Wanita itu mengusap nisan berwarna hitam.

"Maafin mama, ya. Kamu harus dengar maaf terus dari Mama. Mama sayang banget sama kamu."

"Mama... kangen peluk kamu, Sayang."

"Mama kangen suapin kamu, mandiin kamu."

Air mata wanita itu menetes, membasahi makam tersebut.

"Mama..." Suara wanita itu tercekat. Seperti ada yang mengganjal.

"Karena kesalahan Mama, kamu ada dan menanggung semuanya."

Sembari mengusap nisan, wanita itu menghapus air mata menggunakan tisu yang ia bawa.

"Karena itu, adik kamu gak bisa merasakan kasih sayang yang sesungguhnya."

"Karena adik kamu cuma syarat agar Mama tetap bisa bersama Papa kamu, Sayang."

CAKKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang