#9 Bahasa Simpati

34 3 0
                                    

Sore itu sepulang kerja, kala mendung tak nampak hadir di tubuh sang cakrawala. Kaki kita melangkah mampir ke kedai kecil, di lorong sempit dekat tempat kita bekerja.

Kau pesan es coklat kesukaanmu, dan aku memesan kopi hitam panas kesukaanku. Perbedaan kita begitu mencolok, manis bertemu pahit, dan dingin bertemu panas. Menyatukan perbedaan, sepertinya tak semudah yang dipikirkan. Butuh kompromi panjang untuk saling mengerti, tidak bisa instan, tak seperti sajian yang kita nikmati, minuman instan di kedai kecil ini.

"Jika ada yang bertanya kepadaku; pelajaran apa yang paling penting di muka Bumi? Dengan lantang aku jawab; bahasa. Segalanya memerlukan bahasa, agar mudah dicerna kecuali jika kau tak dapat membaca. Kau mau mempelajari karakter manusia? Gestur tubuhnya menyiratkan bahasa. Lewat bahasa Alam, kau ketahui akan turunnya hujan. Lewat tangisan bayi, kau ketahui bahasa anak lapar."

Meski begitu, bahasa juga punya limitasi. Takkan mampu jika semuanya diungkapkan lewat bahasa. Adalah rasa yang tak dapat dipenjara kata.

"Kau pernah mendengar ayam jago berkokok setiap pagi? jago paham betul sebelum fajar menyingsing bergegas bersuara. Sedangkan kita nalurinya dimana? Hingga air mata kekasih menetes pun masih gagal paham tentang apa penyebabnya. Kita kalah dengan ayam jago."

Bukankah setiap kejadian selalu berulang? Mestinya kita paham, ini yang disebut kepekaan. Jika tanpa simpati, kita tak akan mengerti apa itu hati. Jika tanpa perhatian, kita tak tahu arti sebuah perasaan.

Kau termangu mendengar ceritaku, hingga seruput es coklat mu menggema, kita pulang, hanya senyum manismu yang berucap salam dan hari sudah mulai petang.


_Jika tanpa simpati,
kita tak akan mengerti apa itu hati.
Jika tanpa perhatian,
kita tak tahu arti sebuah perasaan_

Dan Kau HadirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang