Sekretariat yang sepi setelah kegiatan super melelahkan hanyalah sebuah harapan. Itu hanya akan terjadi kalau tempat tersebut disabotase oleh para oknum yang semoga saja tidak pernah nyata. Agenda tetap ada. Mengadakan rapat mingguan tetap menjadi kewajiban mutlak yang tidak bisa dihapus karena alasan apa pun.
"Lunasin itu, utang tulisanmu."
Ruis baru saja berniat mengambil satu dari beberapa potong kue yang dibeli untuk beberapa kru yang berulang tahun bulan ini, yang mana hal seperti ini memang wajar mereka lakukan. Namun, suara Januari membuat gadis itu menunda, lalu menatap si pimpinan umum yang sedang menikmati sepotong kue. Dengan perasaan agak sebal, dia mengembuskan napas. "Iya, loh, Bang. Aku lagi repot nyiapin desain harian. Baru juga kemarin istirahat dari pekan jurnalistik."
"Coba lihat kartu pers-mu. Jabatannya reporter, 'kan? Bukan desainer grafis? Kau memang perancang grafis, tapi tetap harus nulis." Januari menyambar dengan penuh penekanan.
Ruis melongo. Gadis itu sudah hafal tabiat Januari. Dia tidak terkejut meski heran mengapa Januari harus membahas hal itu sekarang. Ruis sudah sangat tergoda dengan brownies berlapis cokelat leleh di hadapannya. Orang-orang sudah berebut takut tidak kebagian, tetapi Ruis bahkan belum bisa mencapainya.
"Siap, Bang Janu. Siap!" seru Ruis sambil masih menahan kesal.
Setelah itu, Ruis mengulurkan tangan, berhasil meraih satu potong kue serta tidak sabar untuk segera melahapnya. Namun, tak sampai semenit, kue itu berpindah tangan. Kejadiannya cukup cepat.
"Bang Ezra!" pekik Ruis.
"Ha-ha-ha!" Januari tertawa lepas.
"Ambil lagi dari kotaknya. Masih banyak, tuh!" celetuk Ezra, di balik kerumunan yang sedang memperebutkan kue yang tidak terlalu besar tersebut.
Ruis yang kesal, hanya mampu mendesah berat. Dia kehilangan semangat berebut kue serta mulai berpikir akan makan malam dengan menu apa. Berbagai lauk imajiner tersaji di kepalanya. Deretan yang biasa terpajang di etalase warung nasi Padang, kini terabsen oleh Ruis satu per satu. Namun, secara mengejutkan, ponsel di saku celana berdering. Biasanya Ruis tidak menyalakan bunyi, hanya getar. Namun, setelah kena omelan ibunya, ia memutuskan memasang ringtone bawaan ponsel agar kalau ibunya menelepon tidak terabaikan.
"Halo, Mak. Assalamualaikum." Ruis menyapa dengan semangat.
"H-halo, Ru."
Ruis mendelik setelah rungu meyakini bahwa suara di ujung sana bergetar. Sudah lama Ruis tidak mendengar lirih dengan getar yang tidak bermelodi tersebut. Dan, dia mendengarnya lagi, membuat ruang di dalam kepala memunculkan kontemplasi yang mustahil terjadi.
"Mak, Mamak kenapa?" tanyanya pelan. Gadis itu segera menjauh dari riuh yang tidak berkesudahan, mencari sepi yang hanya akan dia dapat di sekretariat dua, tempat barang-barang bekas pekan jurnalistik tergeletak mengenaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Meja Redaksi [SUDAH TERBIT]
Ficción GeneralSuara bising yang berasal dari dapur di lantai bawah, belum juga membuat Ruis yang sudah membuka mata tersadar penuh. Ia sedang punya keringanan sehingga bisa meninggalkan salat Subuh dan tertidur sampai matahari meninggi. Kesadaran kembali seratus...